RADARBANTEN.CO.ID – Mudik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua arti.
Pertama, mudik yang berarti berlayar atau pergi ke udik. Udik di sini diartikan sebagai hulu sungai atau pedalaman.
Arti mudik selanjutnya adalah pulang ke kampung halaman.
Dua arti di atas merupakan etimologi yang didasarkan pada setidaknya tiga teori. Teori pertama, kata “mudik” berasal dari kata “udik”. Artinya, Selatan atau hulu.
Sejarahnya, sebelum terjadi urbanisasi besar-besaran di Jakarta, banyak wilayahnya dengan nama akhir udik atau ilir. Ilir berarti Utara atau hilir. Contohnya, Meruya Udik, Meruya Ilir.
Teori selanjutnya adalah berdasarkan aktivitas pengiriman hasil bumi ke Jakarta ketika masih bernama Batavia.
Saat itu, suplai hasil bumi ke Jakarta berasal dari wilayah di luar tembok kota sebelah Selatan Batavia.
Petani dan pedagang dari luar tembok kota Batavia itu memasok hasil bumi menggunakan perahu melalui sungai. Itu sebabnya ada nama wilayah terkait tumbuhan seperti Kebon Jeruk, Kemanggisan, Kebon Nanas, Duren Sawit.
Dari situ muncul istilah milir-mudik yang artinya bolak-balik. Mudik diartikan menuju udik kembali setelah saat petani dan pedagang menjual hasil bumi di Batavia.
Teori terakhir adalah bahwa kata “mudik” berasal dari akronim dua kata dalam bahasa Jawa. Yakni, “mulih disik” yang artinya pulang dahulu.
Teori ketiga ini memang belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun, disebutkan sudah beredar luas. Terutama di kalangan masyarakat Jawa.
Seiring berjalannya waktu, muncul tradisi mudik. Fenomena perpindahan para urban dalam jumlah besar dari wilayah perkotaan ke perdesaan. Sesuatu yang luar biasa, yang cuma di Indonesia itu, terjadi ketika merayakan Idul Fitri.
Dikutip RADARBANTEN.CO.ID dari Historia.id, sejarawan Muhammad Yuanda Zara menyatakan bahwa tradisi mudik di masyarakat terjadi setelah Indonesia merdeka. Tepatnya, pada tahun 1950-an. Saat itu, pusat dari fenomena mudik ini adalah di Jakarta. Dan, itu terjadi sampai sekarang.
Dalam dialog “Serba-serbi Mudik Sejak Dahulu Kala” itu, Yuanda Zara mengatakan bahwa jumlah penduduk Jakarta antara tahun 1948-1949 hanya 800 ribu jiwa. Namun, setelah tahun 1950-an melonjak menjadi 1,4 juta jiwa.
Penambahan jumlah penduduk Jakarta ini terjadi setelah pemerintah memindahkan kembali ibukota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Otomatis, pada tahun 1950-an itu pemerintah memfokuskan pembangunannya di Jakarta.
Kondisi itu menjadi magnet bagi masyarakat di luar Jakarta. Pendatang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang secara ekonomi kurang berkembang -terutama Jawa Barat karena pemberontakan Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo dengan DI/TII-nya- berdatangan.
Mereka berharap mendapatkan pekerjaan dari pembangunan jalan raya, fasilitas umum, dan gedung-gedung di Jakarta.
Setelah beberapa tahun tinggal di Jakarta, pendatang yang sebagian mendapatkan pendidikan yang baik di kampungnya, dan sebagian lain merupakan buruh kasar, punya kerinduan dengan kampung halamannya.
Dari sini, fenomena mudik muncul di Indonesia. (*)
Editor: Agus Priwandono