PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Pandeglang buka suara soal dugaan pungutan liar (pungli) di jembatan bambu Pantai Carita yang sempat viral saat libur Lebaran 2025.
Kepala Disparbud Pandeglang Rahmat Zultika mengatakan, pihaknya menerima laporan adanya wisatawan yang diminta membayar saat melintasi jembatan bambu tersebut, mirip seperti tarif sewa tikar di lokasi wisata.
“Jadi gini, sebenernya kalau kita lihat, apa sih bedanya dengan sewa tikar lalu bayar. Tapi informasi yang saya dapat itu katanya wisatawan lewat (jembatan) disuruh bayar,” ungkap kepada awak media, Rabu 9 April 2025.
Ia berharap kejadian serupa tidak kembali terjadi di destinasi wisata lain di Pandeglang. Menurutnya, hal seperti ini bisa mengganggu kenyamanan para wisatawan.
“Suasana seperti ini bikin nggak nyaman buat wisatawan yang datang. Jangan sampai terulang lagi,” tegasnya.
Ia menegaskan telah memberikan imbauan kepada para pengelola wisata agar tidak lagi melakukan praktik tersebut di fasilitas umum, seperti jembatan bambu, khususnya saat musim libur.
Menurutnya, suasana di tempat wisata harus dibuat senyaman mungkin bagi para pengunjung.
“Tapi begini, saya sudah sampaikan ke teman-teman di lapangan, suasananya jangan sampai bikin pengunjung nggak nyaman. Jadi sebisa mungkin ini nggak terjadi lagi, nggak usah ada bikin jembatan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya penerapan sapta pesona bagi pengelola wisata. Konsep ini mencakup tujuh unsur penting, yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan.
“Saya imbau mereka untuk mengedepankan sapta pesona. Karena pada akhirnya, kenangan itu yang paling diingat pengunjung,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Seorang pria yang diduga melakukan pungutan liar (pungli) ditangkap petugas Dirreskrimum Polda Banten di Pantai Carita, Kabupaten Pandeglang.
Pria berinisial DR (30), warga Desa Sindang Laut, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, ditangkap karena memungut biaya Rp 5 ribu pada setiap wisatawan yang melintasi jembatan bambu.
Editor: Agus Priwandono