PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Puluhan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Kabupaten Pandeglang dalam kondisi mati suri. Kondisi ini menjadi perhatian serius Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Pandeglang.
Kepala DPMPD Pandeglang, Muslim Taufik, mengungkapkan ada 25 BUMDes di wilayahnya yang berjalan pasif. Ia menyebut, BUMDes tersebut sudah terbentuk, namun usahanya tersendat.
“Untuk 25 BUMDes ini memang sudah terbentuk, tapi usahanya lagi sedikit tersendat,” kata Muslim saat diwawancarai, pada Jumat, 25 April 2025.
Muslim menjelaskan, pihaknya telah menyiapkan langkah pembinaan berupa sosialisasi untuk membangkitkan kembali BUMDes yang mengalami kendala usaha. Sosialisasi ini juga ditujukan untuk BUMDes yang masih dalam proses berbadan hukum.
“Tahun ini juga kita ada kegiatan sosialisasi, itu diperuntukkan bagi BUMDes yang mengalami sedikit kendala, termasuk BUMDes yang masih dalam proses berbadan hukum,” jelasnya.
Meski begitu, Muslim menegaskan tidak semua BUMDes di Pandeglang mati suri. Banyak BUMDes yang masih aktif mengembangkan usaha sesuai potensi masing-masing desa, seperti produk batik, kerajinan, hingga usaha pinjaman permodalan.
Di sisi lain, Muslim mengungkapkan pihaknya sempat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap BUMDes pada akhir 2024. Namun, keterbatasan anggaran membuat pengawasan hanya bisa menyasar dua BUMDes di setiap kecamatan.
“Kemarin di akhir 2024 kita monitoring BUMDes, tapi karena anggaran minim, hanya bisa memonitor dua BUMDes per kecamatan, tidak semua desa,” ucapnya.
Meski ada yang mangkrak, Muslim tetap optimistis ke depan BUMDes di Pandeglang bisa bangkit. Ia menyebut peluang ini besar, apalagi sejalan dengan amanat undang-undang tentang ketahanan pangan yang melibatkan BUMDes.
“Yakin lah, dengan amanat ketahanan pangan yang besar dan harus dikelola oleh BUMDes, mereka akan semakin menggeliat. Tapi tentu saja, proses menggeliatnya tidak bisa instan,” imbuhnya.
Muslim membeberkan beberapa faktor penyebab BUMDes mati suri. Di antaranya adalah kurangnya pemahaman pengelola, lemahnya tanggung jawab, rendahnya motivasi, hingga inkonsistensi dalam mengelola usaha.
“Filter awalnya dari desa. Kita di DPMPD tidak punya kewenangan untuk menolak atau menerima. Kalau desa mengusulkan dalam RAPBDes, ya kita kucurkan,” tuturnya.
Selain itu, Muslim menyebut sering kali unit usaha BUMDes tidak sesuai kebutuhan pasar. Hal ini diperparah oleh rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap pembayaran, seperti yang terjadi pada BUMDes di sektor pupuk.
“Kadang sistemnya bayar saat panen (yarnen). Tapi saat panen, masyarakat menganggap ini uang pemerintah, akhirnya pembayaran macet dan BUMDes bisa bangkrut,” pungkasnya.
Editor: Agus Priwandono