Oleh: Endan Suwandana – Widyaiswara Ahli Utama Provinsi Banten
Provinsi Banten sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2045. Dokumen ini akan menjadi arah pembangunan selama dua dekade mendatang, sejalan dengan visi nasional “Asta Cita Indonesia Emas 2045” yang menargetkan Indonesia menjadi negara maju. Namun ada satu ancaman besar yang perlu diantisipasi sejak dini: bencana demografi.
Dominasi usia produktif seharusnya menjadi bonus dan berkah. Tetapi jika tidak dikelola dengan tepat, justru bisa berubah menjadi beban. Rendahnya serapan tenaga kerja, ketimpangan keterampilan, serta minimnya aktivitas ekonomi rumah tangga menjadi kombinasi berbahaya yang berpotensi menghambat pertumbuhan.
Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura telah membuktikan bahwa bonus demografi bisa menjadi mesin pertumbuhan jika ditopang oleh tenaga kerja terdidik, penguasaan teknologi, dan dukungan industri modern. Dengan perisapan yang matang, dalam dua dekade, mereka melesat dalam produktivitas dan pendapatan per kapita. Sayangnya, Indonesia justru menghadapi situasi sebaliknya. Per Agustus 2024, lebih dari 70% penduduk berada pada usia produktif, tetapi lebih dari 35% tenaga kerja masih berpendidikan SD ke bawah. Ironisnya, lulusan SMK—yang dirancang siap kerja—justru menyumbang angka pengangguran tertinggi.
Banten, meskipun unggul dari sisi infrastruktur, mencatat tingkat pengangguran terbuka 7,97%—tertinggi kedua secara nasional. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur fisik tak cukup tanpa strategi pembangunan manusia yang kontekstual.
Dari Industri ke Komunitas: Perlu Transformasi Paradigma
Kita perlu mengubah cara pandang terhadap sektor ekonomi. Dunia kerja sedang mengalami transformasi besar. Otomatisasi dan kecerdasan buatan telah memangkas banyak jenis pekerjaan formal. Sementara itu, sektor informal dan ekonomi komunitas justru tumbuh menjadi tulang punggung, menyerap sekitar 60% tenaga kerja nasional. Dari sektor inilah mayoritas masyarakat kita dapat mempertahankan kehidupannya.
Sektor tersier—meliputi jasa, kreativitas, dan komunitas—perlu didorong menjadi pusat pertumbuhan baru. Tak sekadar menciptakan lapangan kerja, sektor ini juga menjawab kebutuhan manusia akan makna, kebahagiaan, dan relasi sosial. Ekonomi bukan lagi sekadar soal bertahan hidup, tapi juga soal hidup yang bermakna.
Menggerakkan Ekonomi dari Rumah Tangga
Dalam struktur PDB Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 53%—terbesar dibandingkan ekspor, investasi, maupun belanja pemerintah. Artinya, denyut utama ekonomi berasal dari aktivitas masyarakat sehari-hari. UMKM menyumbang sekitar 61% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja. Namun, pembangunan masih cenderung bertumpu pada proyek-proyek besar, bukan pada penguatan basis ekonomi warga.
Di sinilah pendekatan eventonomic menjadi relevan: strategi pembangunan berbasis kegiatan sosial dan komunitas, yang mendorong perputaran ekonomi secara alami tanpa perlu bergantung pada anggaran besar atau industri raksasa.
Bayangkan sebuah kegiatan sederhana seperti manasik haji anak PAUD. Meski tampak kecil, kegiatan ini menghidupkan berbagai sektor: penjahit baju ihram, pedagang makanan, fotografer, hingga sopir angkot. Satu event seperti ini bisa memicu perputaran uang puluhan juta rupiah, tanpa harus menggunakan dana APBD.
Eventonomic juga bisa menjadi alat perencanaan mikro yang efektif. Setiap event membuka peluang lapangan kerja temporer, mengaktifkan belanja lokal, dan memetakan potensi warga. Di dalam RPJMD, pendekatan ini bisa diintegrasikan ke dalam program lintas dinas: pendidikan, UMKM, pariwisata, sosial, dan olahraga.
Memang, ada kalanya event-event komunitas seperti lomba sekolah atau manasik PAUD menimbulkan keluhan dari sebagian orang tua karena biaya tambahan. Namun jika seluruh event dihentikan hanya demi menghindari beban itu, justru akan mematikan denyut ekonomi mikro. UMKM, pedagang kecil, jasa penjahit, fotografer lokal, hingga sopir angkot sangat bergantung pada frekuensi event di daerah untuk menjaga perputaran pendapatan mereka. Mereka tidak hidup dari proyek besar, tetapi dari keramaian kecil yang terjadi secara rutin.
Solusinya bukan menghentikan event, melainkan merancangnya agar lebih inklusif dan efisien. Gunakan sumber daya lokal, dorong gotong royong, dan libatkan sponsor mikro atau dana CSR agar biaya tidak seluruhnya ditanggung warga. Dengan pendekatan seperti ini, event tetap berjalan, ekonomi tetap bergerak, dan partisipasi sosial tetap terjaga—semua pihak mendapat manfaat tanpa harus merasa terbebani.
Dari Bertahan Hidup ke Ekonomi Kreativitas
Ekonomi global kini bergerak dari yang bersifat ekstraktif ke arah ekonomi berbasis kreativitas dan komunitas. Kita bisa belajar dari ilustrasi perkembangan sebuah pulau kecil.Generasi pertama di pulau itu, meraka akan fokus untuk bertahan hidup: menangkap ikan, menanam padi.Generasi berikutnya membangun sistem, menjadi guru, menjadi perawat. Ketika semua bidang pekerjaan yang mencukupi kebutuhan primer dan sekunder telah tercukupi, maka lahirlah generasi ketiga yang menciptakan nilai dari seni, hiburan, dan ekspresi diri.
Jika pembangunan berhenti pada sektor primer dan sekunder, maka banyak potensi manusia yang terbuang. Lihatlah komunitas cosplay, burung kicau, e-sport, hingga konten kreator digital—semuanya menciptakan nilai ekonomi nyata. Event cosplay lokal, misalnya, bisa meraup omzet hingga Rp150 juta dalam satu akhir pekan. Komunitas burung kicau bahkan memutar ekonomi nasional senilai Rp3–5 triliun per tahun (Tempo, 2024).
Bayangkan jika setiap akhir pekan ada satu event kecil di setiap kota/kabupaten. Dengan asumsi 54 akhir pekan dalam setahun, kita bisa menciptakan 54 titik perputaran ekonomi lokal hanya dari kegiatan komunitas. Efeknya bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial—rasa memiliki, partisipasi, dan kebahagiaan warga meningkat.
Penutup: Pembangunan yang Membumi
RPJMD Banten ke depan tak boleh hanya fokus pada pembangunan fisik. Ia harus mampu menjawab pertanyaan dasar: bagaimana membuat warga merasa hidup, tumbuh, dan berarti? Eventonomic adalah salah satu jawabannya—jalan membumi untuk membangun ekonomi dari bawah, melalui sektor informal yang menjadi tulang punggung mayoritas rakyat.
Sudah saatnya kita tidak terpaku pada investasi besar atau proyek nasional. Kita bisa mulai dari apa yang ada—aktivitas sehari-hari masyarakat. RPJMD Banten harus menjadikan eventonomic sebagai strategi resmi. Dinas terkait harus berkolaborasi merancang program yang menggerakkan komunitas, bukan hanya menyerap anggaran.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Jika tak ingin bonus demografi berubah menjadi bencana, kita harus mulai menggerakkan ekonomi dengan cara yang lebih manusiawi dan membumi—dimulai dari event kecil di lingkungan sekitar.