SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Tepat hari ini, 12 Juli, 87 tahun yang lalu, seorang tokoh pergerakan nasional, Muhammad Husni (MH) Thamrin, menorehkan sejarah penting dengan mengumumkan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Fraksi Nasional yang dipimpinnya dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Langkah berani ini menjadi tonggak penting dalam pengakuan dan penguatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa.
Pernyataan revolusioner tersebut pertama kali disampaikan MH Thamrin kepada peserta Kongres Bahasa Indonesia I yang diselenggarakan pada 25 Juni 1938 di Solo. Dalam kongres tersebut, Ketua Panitia Soedarjo Tjokrosiworo membacakan telegram dari Thamrin yang berisi dukungan penuh dan komitmen Fraksi Nasional untuk berbahasa Indonesia di parlemen.
“Selamat berkongres serta mempermaklumkan Fraktie Nasional Volksraad akan berpidato dalam bahasa Indonesia untuk pandangan umum sebagai penghargaan terhadap kongres,” demikian kutipan telegram Thamrin yang disambut tepuk tangan meriah oleh sekitar 500 peserta kongres yang mewakili 138 perhimpunan dan 21 media massa.
Janji itu pun ditepati. Pada 12 Juli 1938, Fraksi Nasional secara resmi menyampaikan pandangan umum mereka dalam Bahasa Indonesia di Volksraad. Sehari sebelumnya, Senin, 11 Juli 1938, anggota Fraksi Nasional, Jahja Datoek Kajo, menjadi orang pertama yang berpidato menggunakan Bahasa Indonesia di forum legislatif tersebut.
Dalam pidatonya, Jahja menyinggung hubungan panjang Indonesia dan Belanda yang sayangnya tidak disertai kedekatan antar masyarakat. Ia menyoroti fakta bahwa sebagian besar orang Belanda tidak memahami Bahasa Indonesia, sementara banyak orang Indonesia justru fasih berbahasa Belanda. Pernyataan ini memicu interupsi dari anggota Volksraad asal Belanda, namun Jahja menanggapinya dengan tegas.
“Nanti akan terang pada toean-toean apakah maksud pidato saya ini. Orang Belanda harus mengetahui bahasa Indonesia. Jadi, untung juga bulan Juni yang lalu di Solo telah dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia yang akan mengembangkan bahasa Indonesia seluas-luasnya,” demikian kutipan pidato Jahja (Darmo Kondo, 14 Juli 1938).
Momen bersejarah ini juga diwarnai insiden lucu. Saat Datoek Toemenggoeng, anggota Fraksi Nasional lainnya, berpidato, ia awalnya menggunakan Bahasa Belanda untuk menanggapi kritik Jan Verboom dari Fraksi Vaderlandsche Club. Verboom mempersoalkan penggunaan Bahasa Indonesia yang dianggap menyulitkan stenografer dan peliputan pers. Namun, setelah menjawab Verboom, Datoek Toemenggoeng tiba-tiba beralih ke Bahasa Indonesia. Akibatnya, stenografer yang hanya menguasai Bahasa Belanda kebingungan, dan sekretaris Volksraad pun terpaksa memanggil stenografer berbahasa Indonesia. Lucunya, sebelum stenografer pengganti tiba, Datoek Toemenggoeng sudah mengakhiri pidatonya (Soeara Oemoem, 18 Juli 1938).
Di hari yang sama, anggota Volksraad dari Fraksi Indische Katholieke Partij, Piet A. Kerstens, mencela tindakan Fraksi Nasional, menganggapnya sebagai demonstrasi politik untuk menyerang Wali Negeri. Ia bahkan berharap MH Thamrin tetap menggunakan Bahasa Belanda. Namun, Thamrin dengan cepat merespons, “Pidato saya akan berisi sebaliknya,” (Soeara Oemoem, 13 Juli 1938).
Dan benar saja, pada 12 Juli 1938, MH Thamrin menyampaikan pidatonya dalam Bahasa Indonesia, menjelaskan alasan di balik keputusan Fraksi Nasional. “Sekarang saatnya bagi kita untuk mempertimbangkan penggunaan bahasa Indonesia untuk tahun ini, karena ternyata ketika kita menggunakan bahasa Indonesia tahun lalu di Volksraad, pemerintah tidak keberatan, meskipun mereka menyesalinya,” ujar Thamrin dalam sidang umum Gemeenteraad van Batavia (Het Volksdagblad, 21 September 1939).
Menurut Thamrin, penggunaan Bahasa Indonesia sangat penting agar bahasa nasional tidak semakin tersisih oleh dominasi Bahasa Belanda yang digunakan pemerintah dan lembaga perwakilan. Ia menegaskan, rakyat Indonesia adalah pihak yang paling dirugikan karena tidak memahami Bahasa Belanda, sehingga tidak mampu membaca peraturan maupun menyuarakan pikirannya sendiri. Lebih parah lagi, kaum terpelajar Indonesia turut melanggengkan kondisi ini dengan meninggalkan Bahasa Indonesia, termasuk dengan tidak membaca koran berbahasa Indonesia. Akibatnya, rakyat Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan pikirannya dalam bahasa ibu mereka sendiri (Soeara Oemoem, 13 Juli 1938).
Editor: Aas Arbi