TANGERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Demi menggali potensi pajak, berbagai macam upaya akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Di mana, salah satu upaya tersebut adalah memberlakukan pajak media sosial.
Pemerintah meyakini bahwa pemanfaatan data analitik dari media sosial merupakan strategi inovatif dalam memaksimalkan pendapatan negara.
Pengenaan pajak media sosial yang dimaksud sebenarnya adalah penghasilan dari para content creator maupun influencer melalui monetisasi konten.
Dikutip dari laman resmi Sahabat Pegadaian, berikut mekanisme pajak media sosial yang akan diberlakukan pemerintah.
Apa itu pajak media sosial?
Pajak media sosial adalah pengenaan pajak tambahan yang ditujukan kepada user atau pengguna atas penggunaan media sosial.
Rencana kebijakan ini merupakan susulan dari keputusan pemerintah atas penunjukan e-commerce sebagai pemungut PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 22 terhadap pedagang online.
Hal tersebut telah termuat dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) RI Nomor 37 Tahun 2025 yang secara resmi berlaku pada 14 Juli 2025.
Membidik pengenaan pajak berdasarkan data digital dan media sosial dapat memperluas basis pajak di Indonesia, di tengah meningkatnya transaksi digital.
Dengan demikian, target pemasukan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2026 bisa diwujudkan.
Sebelum di Indonesia, pengenaan pajak media sosial telah diimplementasikan di Uganda yang berhubungan dengan layanan OTT (Over The Top).
OTT erat kaitannya dengan jasa berbasis teknologi digital. Hal ini mengacu pada pemanfaatan fasilitas penyedia jasa digital.
Di Indonesia, pengenaan pajak atas OTT dilandaskan pada perolehan penghasilan, tepatnya jika sudah menggunakan model monetisasi yang mengarah ke komersialisasi.
Siapa yang dikenakan pajak media sosial?
Perkembangan teknologi di era digital saat ini tidak hanya membuat pengguna bisa mengakses platform demi kesenangan ataupun kepuasan pribadi semata.
Pengguna media sosial bahkan dapat menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Secara umum, setiap warga negara yang memiliki penghasilan sesuai ketentuan haruslah memenuhi kewajibannya dalam membayar Pajak Penghasilan (PPh).
Namun, perlu diketahui bahwa rencana terkait pemungutan pajak media sosial tidak menyasar pengguna media sosial biasa.
Kebijakan ini diperuntukkan bagi pengguna media sosial tertentu, di antaranya:
– Selebgram dan influencer yang menerima penghasilan dari endorsement atau sponsor.
– Perusahaan asing yang menyuplai jasa digital berbayar di Indonesia.
– Content creator yang mendapatkan uang hasil dari monetisasi konten di berbagai platform digital.
Bagi wajib pajak yang penghasilannya sudah melewati batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), maka diwajibkan untuk melaporkan pendapatannya dan membayar PPh.
Berdasarkan PMK RI Nomor 60/PMK.03.2022, Pemerintah Indonesia sudah menetapkan besaran PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang akan dipungut untuk langganan platform digital, seperti YouTube Premium, Netflix, dan Spotify senilai 12 persen.
Mekanisme Pajak Media Sosial
Dalam Rapat Kerja Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR, Anggito Abimanyu selaku Wakil Menteri Keuangan, menyatakan bahwa potensi pajak akan digali lewat perpaduan dari proses data analitik dengan aktivitas di media sosial.
Artinya, peran media sosial lebih dari sekadar sarana komunikasi. Dalam hal ini, media sosial juga berpotensi digunakan sebagai instrumen pemantauan kepatuhan perpajakan.
Menurut Anggito Abimanyu, skema pemungutan pajak media sosial kini sedang dalam tahap pertimbangan dan kemungkinan berlaku pada 2026.
Bimo Wijayanto selaku Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menambahkan bahwa Pemerintah akan memanfaatkan bantuan dari teknologi AI (Artificial Intelligence).
Melalui teknologi AI, pemerintah dapat melakukan banyak hal, seperti:
– Mendeteksi potensi pendapatan, pola, dan aktivitas dari para pengguna media sosial.
– Mencocokkan kesesuaian dara perpajakan dengan profil WP tersebut.
– Melakukan pemeriksaan, fraud, kejanggalan, maupun penyimpangan kehidupan pengguna media sosial dengan rekam jejak data perpajakan yang dilaporkan ketika mengisi Surat Pemberitahuan (SPT, bagi WP pribadi).
Pada dasarnya, pemanfaatan media sosial sebagai sumber informasi kepatuhan ini sudah diterapkan terlebih dahulu oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak) dengan metode crawling.
Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, yang bertujuan untuk memantau aktivitas wajib pajak di platform sosial.
Metode crawling sendiri merupakan sistem penghimpunan data otomatis yang berasal dari internet, termasuk media sosial dengan menggunakan search engine.
Melalui search engine (mesin pencari), DJP dapat menemukan konten-konten yang diunggah di media sosial dengan mudah guna mengawasi harta kekayaan para wajib pajak di media sosial.
Sebagai contoh, apabila seseorang memperlihatkan tas mewahnya di media sosial, maka data ini dapat disejajarkan dengan informasi dalam sistem perpajakan.
Jika hasil yang ditunjukkan tidak sesuai, DJP kemudian akan melakukan pendekatan, seperti peringatan atau edukasi kepada individu bersangkutan.
Sebenarnya, pajak media sosial ini direncanakan bukan hanya untuk menambah pendapatan negara, tetapi juga memastikan adanya kesetaraan perlakuan pajak.
Jadi, siapa saja yang menerima pendapatan, baik dari aktivitas digital maupun konvensional, diwajibkan menjalankan tanggung jawabnya untuk membayar pajak secara adil.
Dengan begitu, kemungkinan risiko ketimpangan dalam beban pajak bisa dihindari atau dicegah dan pengawasan terhadap perkembangan digitalisasi berjalan secara seimbang.
Demikian penjelasan mengenai pajak media sosial, termasuk mekanisme dan sasaran wajib pajak yang patut dipahami.
Seperti yang telah dijelaskan, rencana kebijakan yang dibebankan ke masyarakat tersebut masih belum tentu pengaplikasiannya.
Editor: Agus Priwandono











