LEBAK, RADARBANTEN.CO.ID- Angka kelahiran remaja usia 15–19 tahun di Kabupaten Lebak tercatat masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data dari tahun 2022 hingga 2025, angka kelahiran mencapai 29,8 persen. Kondisi ini menjadi perhatian serius karena mayoritas remaja yang melahirkan merupakan mereka yang menikah di usia belum layak.
Pemerintah daerah menilai, tingginya angka kelahiran remaja menunjukkan masih kurangnya kesadaran keluarga dan masyarakat tentang pentingnya perencanaan pernikahan serta risiko kehamilan pada usia muda.
Kepala Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana DP3AP2KB Lebak, Tuti Nurasiah, mengungkapkan bahwa angka kelahiran pada kelompok usia remaja 15–19 tahun atau Age Specific Fertility Rate (ASFR) masih cukup tinggi. “Ini persoalan yang harus kita tangani serius, karena remaja seharusnya belum pada tahap usia yang ideal untuk melahirkan,” kata Tuti kepada RADARBANTEN.CO.ID saat berada di kantornya, pada Minggu 29 September 2025.
Menurut Tuti, salah satu penyebab tingginya angka pernikahan dini adalah faktor ekonomi. Banyak keluarga yang menikahkan anaknya di usia muda karena keterbatasan biaya dan beban hidup.
“Kalau untuk remaja kita sebetulnya kalau angka pernikahan remaja kita enggak punya angka yang akurat ya, angka yang pasti yang kita punya itu angka kelahiran. Kelahiran di usia remaja. Artinya usia belum layak. Jadi yang kita hitung itu adalah ASFR,” terangnya.
“Age specific fertility rate 15 sampai 19 tahun. Artinya kelahiran yang terjadi di usia 15 sampai 19 tahun. Nah, itu angka di tahun sebelum tahun 2020 ya, 2020 itu masih ada di angka 33,2%. Jadi ini cukup tinggi. Dan penurunannya sangat lambat sekarang 29,8 persen,” imbuhnya.
Tuti juga menyoroti faktor kurangnya edukasi dan pemahaman terkait kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Minimnya informasi membuat remaja tidak memahami konsekuensi pernikahan dini, baik dari sisi kesehatan, psikologis, maupun sosial.
“Penyebabnya sebetulnya berkaitan dengan budaya di Kabupaten Lebak di mana para orang tua yang anaknya sudah mulai bergaul dengan lawan jenis, kemudian dia tidak bersekolah. Itu keinginannya itu untuk segera menikahkan gitu,” tuturnya.
Ia menambahkan, DP3AP2KB akan memperkuat program-program edukasi melalui sekolah, komunitas remaja, hingga tokoh masyarakat. Tujuannya, agar remaja bisa menunda pernikahan sampai usia yang lebih matang. “Kita ingin melindungi remaja dari risiko kehamilan dini dan memastikan mereka bisa menyelesaikan pendidikan lebih dulu,” ungkap Tuti.
Editor: Abdul Rozak