Gunung ulah dirempug
Lebak ulah dirusak
Panjang ulah dipotong
Pendek ulah disambung
Demikianlah pikukuh masyarakat adat Baduy. Pesan untuk selalu menjaga alam keharmonisan hidup bermasyarakat terasa kuat. Gunung jangan digunduli dan dieksploitasi. Ngarai jangan dirusak oleh industri. Yang panjang jangan dipotong dan yang pendek jangan disambung, merupakan bentuk penerimaan apa adanya terhadap harmonisasi manusia dan alam semesta.
Kedekatan manusia dan alam dalam falsafah masyarakat Baduy ini menciptakan kosmologi, dan pemahaman bahwa alam seperti halnya manusia yang memiliki tubuh. Masyarakat Baduy berpendapat bahwa Pulau Jawa ini seperti halnya tubuh manusia.
“Masyarakat Baduy memiliki pandangan terhadap alam semesta, terutama Pulau Jawa seperti halnya tubuh manusia,” kata Rubi Achmad Baedhawi, akademisi dan pemerhati budaya Banten, kepada radarbanten.com, Minggu (4/5/2014).
Masyarakat Baduy, kata Rubi, menganggap bahwa ibarat tubuh, posisi Ujung Kulon merupakan kepalanya Pulau Jawa. “Maka ada istilah Sang Hyang Sirah. Ini ada kaitannya dengan posisi kepala tadi,” jelasnya.
Sementara itu, jika Ujung Kulon menduduki posisi kepala, maka masyarakat Baduy menganggap bahwa Baduy adalah paru-parunya. “Nah, paru-parunya ada di Baduy. Maka masyarakat Baduy benar-benar menjaga alamnya. Karena jika alam rusak, maka paru-paru seperti dalam analogi tubuh tadi juga rusak. Jika paru-paru rusak bisa kita bayangkan seperti apa kondisi tubuh manusia,” papar lelaki yang juga dosen di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten ini.
Ketika ditanya mengenai posisi kaki, jika Pulau Jawa dianggap seperti tubuh manusia, Rubi menjawab ada di Blambangan, Jawa Timur. “Posisi kaki ada di Blambangan.”
Maka, lanjut Rubi, pada tiap seba Baduy, masyarakat Baduy menghampiri tiap kepala daerah untuk menitipkan untuk menjaga alam. “Tiap kali bertemu kepala daerah, pesan menjaga alam selalu mereka (masyarakat Baduy-red) lakukan,” pungkas Rubi. (WAHYUDIN)