SERANG – Kesadaran hukum dan religiusitas masyarakat Banten secara umum mengalami pengikisan. Norma yang ada di masyarakat seperti istilah ‘dosa’ dan ‘pamali’ tidak lagi punya pengaruh kontrol di masyarakat untuk menjadikan tindakan seseorang selaras dengan ketertiban umum.
Hal ini akan terlihat menganga lebar jika dibandingkan dengan gambaran masyarakat pada masa Kesultanan Banten. “Secara umum gambaran kesadaran hukum masyarakat zaman kesultanan tinggi. Masyarakat masih menjaga tingkah laku dengan label ‘dosa’ dan ‘pamali’. Masyarakat akan patuh. Tapi aturan semacam ini sudah ditabrak,” ungkap Staf Peneliti Bantenologi IAIN SMH Banten Yadi Ahyadi kepada radarbanten.com, Minggu (1/6/2014).
Menurut Yadi, sebagaimana tertulis dalam naskah Babad Banten, lembaga hukum masa Kesultanan Banten seperti Fakih Najmudin, setara dengan Mahkamah Agung saat ini, sangat efektif menegakan hukum dengan berbasis syariat di masyarakat. “Jika pelanggaran biasa banyak perkara hukum di masyarakat, saat itu diselesaikan di sebuah masjid yang menaungi empat hingga lima desa,” jelasnya.
Penegak hukum, saat itu, kata Yadi, terdiri dari para pengurus masjid. “Jika tidak selesai ditangani tokoh agama maka akan dilimpahkan ke tingkat kabupaten dan jika tidak selesai juga maka akan dilimpahkan ke tingkat residen untuk diputuskan,” paparnya.
Untuk kasus yang lebih khusus, seperti kasus pemberontakan, lanjut Yadi, Belanda akan menyerahkannya kepada peradilan pusat di Batavia alias Jakarta. “Untuk peradilan menyangkut masyarakat diselesaikan secara syariat, sementara peradilan pemberontakan diselesaikan di pusat,” ujarnya. (WAHYUDIN)