SERANG – Penyaluran dana hibah yang diterima tujuh ponpes, majelis taklim, dan panitia pembangunan majelis taklim di Pandeglang dari Pemprov Banten tahun 2011 senilai Rp135 juta dengan terdakwa Rizal Syamsu Maulana menyalahi prosedur. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan dengan agenda eksepsi terdakwa.
Staf pada Biro Kesra Setda Provinsi Banten itu melalui pengacaranya menyatakan bahwa Majelis Taklim Assyfa, salah satu dari tujuh penerima dana hibah tahun 2011 dari pemprov Banten, tidak memiliki badan hukum.
“Setelah kami cermati dari dakwaan jaksa tidak ada dalam surat keputusan Gubernur Banten Majelis Taklim Assyfa sebagai lembaga penerima bantuan sosial tahun 2011,” kata pengacara terdakwa, Endang Sujana, membacakan eksepsi dengan jaksa penuntut umum (JPU) Candra, di Pengadilan Tipikor Serang, Selasa (9/2/2016).
Setelah diverifikasi, dari proposal pengajuan dana hibah tujuh ponpes dan majelis taklim itu, keluarlah surat nota dinas dari kepala Biro Kesra Setda Pemprov Banten ke PPKD Belanja Hibah dan DPPKD Provinsi Banten dan ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat perintah pembayaran (SPP), dan kemudian surat perintah membayar (SPM), hingga terbitnya surat perintah (SP2D) untuk dapat dicairkannya bantuan tersebut.
“Merupakan tindakan yang telah menyalahi prosedur yang dilakukan oknum para pejabat tersebut. Karena dasar hukum untuk penerima dana bantuan sosial yaitu lembaga Majelis Taklim Assyfa tidak memeiliki dasar hukum sebagai penerima bantuan,” terang dia.
Ketujuh lembaga penerima hibah tersebut adalah Majelis Taklim Nurul Falah, Ponpes Raudlatul Falah, Ponpes Adzikro, Ponpes Putra Putri An-Nisa, Ponpes Darul Mutaalim/Darul Mu’minin, Majelis Taklim Assyifa, dan Ponpes Al Munawaroh.
Dakwaan untuk Rizal, pertama, Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kedua, Pasal 3 jo jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Endang juga menyatakan bahwa dakwaan jaksa tidak lengkap, tidak cermat, dan tidak jelas dalam menguraikan waktu dan tempat tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Dalam dakwaan jaksa terdapat kalimat pada hari yang sudah tidak ingat dengan dipastikan antara Maret 2011 sampai Maret 2012, bertempat di pondok pesantren yang tersebar di Pandeglang.
“Cara berpikir jaksa mengenai waktu dan tempat kejadian tindak pidana terdapat sikap keragu-raguan, sikap yang tidak pasti,” ungkapnya.
Dalam penutup eksepsinya, terdakwa meminta kepada mejlis hakim agar menerima eksepsinya, dan membatalkan dakwaan jaksa serta memulihkan nama baik terdakwa.(Wahyudin)