TANGERANG – Program kesehatan gratis yang dicanangkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten tinggal menghitung bulan. Kalau tidak ada aral melintang, program populis itu akan dilaksanakan pada 2018.
Sebagai langkah awal, akan dilaksanakan di dua rumah sakit milik pemerintah, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten dan RSUD Malingping. Ke depan, program ini akan dilaksanakan di ratusan RS di Banten.
Pemprov sudah menganggarkan dana sebesar Rp 23 miliar untuk kesehatan gratis dalam APBD Banten. Anggaran untuk RSUD Banten digelontorkan Rp 21 miliar dan Rp 2 miliar lagi untuk RSUD Malingping.
Untuk mematangkan langkah itu, Gubernur Wahidin Halim, Selasa (10/10), mengumpulkan seluruh manajemen RS pemerintah maupun swasta di RS Siloam, Tangerang. Pada kesempatan itu, Gubernur meminta komitmen manajemen RS dalam memberikan pelayanan dasar kesehatan bagi masyarakat Banten.
“Pemerintah merasa berkepentingan membangun kemitraan dengan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi rakyat,” kata Gubernur yang akrab disapa WH.
WH menyadari bahwa hingga kini berbagai kendala dalam proses simplikasi administrasi penerimaan pasien pengguna kartu sehat dan BPJS menjadi bahasan utama. Gubernur mengajak seluruh komponen rumah sakit bersama-sama mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut.
“Ke depan kita harus mulai berbagi tugas, masyarakat yang terkover oleh BPJS harus dilayani dengan baik. Tapi, masih ada rakyat yang di pinggiran daerah, bahkan di kota masih ada yang belum terlayani dan belum mampu ikut BPJS, itu akan kita bantu,” tegasnya.
Mantan walikota Tangerang dua periode ini mengatakan bahwa pelayanan kesehatan masyarakat menjadi hal yang mutlak harus diberikan. Ia mengharapkan tidak ada lagi RS swasta maupun pemerintah menolak warga untuk berobat. “Kalau ada orang Banten sakit, segera fasilitasi, jangan ditolak. Saya akan mati-matian bela warga saya,” tegasnya.
Visi ke depan, lanjut WH, bagaimana agar masyarakat bisa menikmati pelayanan kesehatan gratis meski belum membayar iuran BPJS. “Kalau perlu, habiskan dana APBD Banten untuk sektor kesehatan,” ujarnya.
“Jika ada rakyat yang ingin berobat maka rumah sakit harus melihat saya selaku Gubernur. Cukup dengan KTP. Jangan kalau (warga-red) sudah sakit, lempar sana lempar sini dengan alasan prosedural dan uang muka. Karena, warga sakit kan tidak direncanakan,” sambungnya.
Wahidin menyerahkan sepenuhnya kepada Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Banten dan stakeholders. Di antaranya, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), dan Asosiasi Klinik (Asklin).
Dinas kesehatan (dinkes) provinsi dan kabupaten kota diminta menerjemahkan pelayanan kesehatan yang tidak berbelit-belit. Jika kabupaten dan kota menolak, Gubernur menegaskan, program tersebut tetap berjalan. Ia mengancam akan mencopot Kepala Dinkes Banten Sigit Wardojo jika tak sanggup merealisasikan kebijakannya. “Jika Pak Sigit tidak sanggup, saya akan ganti. Kita harus tinggalkan paradigma lama,” tegasnya.
Wahidin juga berharap, kasus penolakan pasien bayi Deborah oleh RS Mitra Keluarga tidak terulang lagi. Diketahui, bayi malang yang berdomisili di Jalan Haji Juang, Kelurahan Jurumudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, itu mengembuskan napas terakhir pada Minggu, 3 September 2017 lalu karena telat ditangani.
“Zaman saya jadi walikota Tangerang bisa diterapkan (pakai KTP-red), tinggal verifikatornya saja yang capek,” kata dia lagi.
Wahidin menyadari kondisi sejumlah rumah sakit belum merata karena masih kekurangan tenaga spesialis untuk melayani kesehatan gratis. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Pemprov Banten berencana melakukan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Termasuk merintis program studi kedokteran di Universitas Tirtayasa mulai tahun 2018. “Saat ini prodi kedokteran di Universitas Tirtayasa terkendala tenaga pengajar. Kita akan mengalokasikan dana Rp 50 miliar untuk merealisasikan prodi kedokteran,” ujarnya.
Gubernur menegaskan, senang bisa bertemu dengan seluruh manajemen rumah sakit kemarin. “Saya berharap para pelaku kesehatan ini memberikan kritik, saran, dan masukan bagi pemerintah dalam menangani persoalan kesehatan,” timpalnya.
Pada kesempatan itu juga hadir jajaran pengurus IDI Provinsi Banten, Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), Persi, serta pengelola klinik.
Kepala Dinkes Provinsi Banten Sigit Wardojo mengatakan, silaturahmi jajaran manajemen rumah sakit bersama Gubernur itu untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi dalam memperbaiki pelayanan kesehatan di Banten. “Forum ini digagas oleh Pak Gubernur. Beliau ingin tahu ganjalan atau masalah yang dihadapi dan dicarikan solusi yang terbaik. Ini kesempatan kita untuk berdialog,” kata Sigit.
Sementara, pengurus RS se-Banten merespons kebijakan kesehatan gratis ini. Ketua Asklin Provinsi Banten dr Hadi Wijaya mengatakan, kebijakan pelayanan kesehatan gratis yang digagas Gubernur cukup bagus karena menggunakan tarif rumah sakit. “Persoalannya, ICU (intensive care unit) dan NICU (neonatal intensive care unit) membutuhkan investasi cukup besar,” kata Hadi yang juga direktur RS Ibu dan Anak BUN Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Dia juga mengatakan, kebijakan penggunaan KTP untuk berobat gratis akan mendapat kesulitan dengan adanya program jaminan kesehatan nasional (JKN) sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). “Apakah kebijakan ini tidak terbentur dengan undang-undang yang menyebut semua rumah sakit harus terintegrasi dengan JKN?” tanyanya.
Ketua IDI Provinsi Banten dr Hendarto mengatakan, Gubernur harus duduk bersama lagi dengan pengurus RS. “Tinggal bagaimana formulasinya, semua rumah sakit harus duduk bareng dengan pemerintah supaya ada skema yang jelas dan sama-sama bisa berjalan,” singkatnya. (Aditya R-Segan/RBG)