Leli (35) nama samaran, bukanlah manusia sempurna. Meski cantik dan kaya, tapi kalau kesehariannya tak pernah lepas dari tekanan, kata bahagia itu baginya hanyalah khayalan. Apalagi kalau sang suami, sebut saja Plaud (38) termasuk lelaki yang memiliki tempramen.
“Saya sih sebenarnya bisa terima kalau dia sering marah-marah, tapi kalau marahnya di depan orang banyak, kan malu,” curhatnya kepada Radar Banten.
Leli mengaku, ia sudah sering mengingatkan Plaud kalau masalah rumah tangga jangan diumbar-umbar keluar. Kalau ada yang mengganjal di hati, ungkapkan baik-baik dan jangan emosi. Apalagi sampai dibicarakan kepada orang lain. Tapi, ibarat masuk kuping kiri keluar kuping kanan, ucapan sang istri tak pernah dituruti.
Plaud sebenarnya bukanlah lelaki tampan rupawan, kalau dibandingkan dengan Leli, perbedaannya seperti langit dan bumi. Jauh. Entah pernikahan mereka karena perjodohan atau memang takdir Tuhan, Leli menerima Plaud apa adanya.
“Ya awalnya sih memang dijodohin, Kang. Tapi lama-lama mikirnya ya udah saja gitu. Toh kalau pun dapat yang tampan kan belum tentu bahagia,” ungkap Leli. Iya juga sih.
Terlahir dari keluarga berada, ayah pengusaha dan ibu tenaga pengajar di salah satu sekolah swasta di Kota Serang, Plaud hidup berkecukupan. Ibarat anak raja, apa pun yang diminta pasti terlaksana. Maklumlah, ia anak lelaki satu-satunya. Pokoknya, ia mengalami masa muda bahagia.
Setelah lulus kuliah di salah satu universitas ternama di Kota Kembang, Plaud banyak menghabiskan waktu di rumah. Seolah tak ada rasa malu pada orangtua dan keluarga, gelar sarjana dianggapnya akhir dari segala perjuangan masa muda. Kerjaannya tidur, makan, dan liburan. Mentang-mentang orang kaya, enggak gitu juga kali, Kang. Hehe.
Singkat cerita, sang ayah mengatur rencana menikahkan Plaud dengan seorang wanita anak teman sepermainan. Mungkin karena tak nyaman melihat putranya berkelakuan layaknya orang yang tak punya tujuan, ia berharap, dengan dinikahkan Plaud akan memiliki tanggung jawab dan lebih bersemangat.
Berpura-pura mengadakan pertemuan, sang ayah beserta keluarga datang ke rumah Leli. Berpakaian rapi seperti hendak mau kondangan, mereka disambut dengan hangat. Acara dibuka dengan makan-makan. Berbeda dengan Plaud yang tak tahu maksud tujuan sang ayah, Leli yang malam itu mengenakan pakaian terbaiknya, terlihat tak nyaman. Ia menolak dijodohkan.
“Ya waktu itu saya kesal. Masa zaman sekarang masih saja jodoh-jodohan, kan enggak asik,” tukasnya.
Selesai makan bersama, sang ayah mengenalkan Plaud kepada Leli. Apa mau dikata, meski dalam hati bilang tak suka, senyumnya terpaksa hadir menciptakan keindahan bagi Plaud seorang. Dengan lesung pipi dan gigi gingsulnya, Leli sukses menarik hati keluarga Plaud.
Leli wanita yang mudah membuat pria jatuh cinta. Wajar, ia memang memesona. Dengan kulit nan putih dan senyum manisnya, ia banyak diincar lelaki di lingkungan rumahnya. Meski begitu, katanya sih Leli suka takut kalau ada lelaki yang bilang sayang ke dia. Loh, memang kenapa, Teh?
“Ya takut, kang. Takut sayanya enggak suka terus nolak dia, ujung-ujungnya yang tadinya temenan malah jadi musuhan. Kan enggak enak,” curhatnya.
Singkat cerita, meski awalnya menolak, akhirnya Leli bersedia menikah dengan Plaud. Udangan sudah disebar, ia bersiap menerima sang lelaki sebagai suami. Mengikat janji sehidup semati, keduanya resmi menjadi sepasang suami istri. Dengan pesta pernikahan yang digelar meriah, mereka tampak bahagia.
Di awal pernikahan, Plaud bersikap layaknya lelaki bijaksana. Perhatian, suka membelikan sesuatu untuk istri dan mertua, ia berniat mencuri hati keluarga. Hingga setahun kemudian, lahirlah anak pertama, rumah tangga mereka semakin bahagia.
Hingga sang anak beranjak balita, Plaud dan Leli memutuskan membeli rumah. Mereka ingin belajar hidup mandiri dengan jauh dari keluarga. Sejak saat itulah, sang suami mulai menunjukkan sikap aslinya. Sering marah meski karena masalah biasa. Oalah, Kok bisa?
Leli pun bercerita, di suatu pagi yang cerah, ia bangun siang lantaran malamnya bergadang bersama teman-teman kuliah yang main ke rumah. Tepat pukul 10.00 WIB, ketika ia mengurus sang buah hati, berderinglah ponsel menerima panggilan sang suami. Plaud meminta sang istri mengantarkan titipan ke rumah ibunya. Leli mengiyakan dan berakhirlah perbincangan.
Selepas salat Asar, sang anak terbangun dari tidurnya dan menangis. Leli lekas menghampiri, dipegangnya kening sang buah hati.
“Ya ampun, kamu kenapa? Jangan nangis ya sayang, nanti kita ke klinik!” kata Leli panik.
Lantaran waktu itu pertama kalinya ia mengalami hal ini, Leli waswas dan bergegas membawa sang anak ke klinik terdekat. Saking paniknya, ia sampai lupa mengabari sang suami. Apa mau dikata, pesanan pun Plaud tak dikerjakannya. Di tempat berbeda, sang suami ditelepon ibunya menanyakan pesanan yang tak kunjung datang.
Bukannya menelepon sang istri, Plaud malah langsung terbakar emosi. Ia bergegas menuju rumah untuk memarahi Leli. Ditekannya gagang pintu, namun tak terbuka. Leli mengunci rumah dan tak ada satu tetangga pun yang mengetahui keberadaannya.
Bagai orang kehilangan akal sehat, Plaud mengamuk seorang diri. Ditendang pintu sampai terbuka. Suara keras itu memancing perhatian warga, beberapa tetangga datang menemuinya, saat itulah ia menjelek-jelekkan istrinya. Astaga, tega amat sih tuh Kang Plaud. Istri sendiri dicaci maki.
Saat azan magrib berkumandang, Leli pulang dan melihat rumahnya acak-acakan. Ia mengira kemalingan, namun akhirnya Leli sadar kalau itu kelakuan suaminya. Seolah tak memberi waktu pada Leli, Plaud langsung memarahi. Saat itu juga, tanpa basa-basi, Leli pergi, pulang ke rumah keluarga sambil berlinang air mata. Tiga bulan pisah rumah, akhirnya Plaud meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi. Duh sabar ya Teh Leli! (daru-zetizen/zee/ags/RBG)