Mereka berjilbab. Tapi ngomong Mandarinnya… Haiiyyaaa… saya kalah.
Mumpung dekat Nanjing, saya telepon mereka: maukah makan siang dengan saya?
Dalam sekejap lima mahasiswa menyaut WeChat saya: Siaaaap….
Waktu itu saya masih di dalam kereta peluru. Dari Shanghai. Satu jam lagi tiba di Nanjing.
Kami janjian pukul 13:00. Makan siang. Berarti dua jam lagi. Saya ajukan lima pilihan restoran. Mereka pilih yang Hai Di Lao di Zhongshan West Road. Alasan mereka dekat masjid.
Itulah restoran top di Tiongkok sekarang ini. Di tiap kota pasti ada cabangnya. Juga di Los Angeles, Tokyo dan Singapura.
Saya akan menulis kehebatan manajemennya. Kapan-kapan.
Inilah untuk pertama kalinya: saya menengok ‘mahasiswa saya’. Mereka kuliah di Nanjing ikut program beasiswa. Dari yayasan yang saya dirikan: Indonesia Tionghoa Culture Center. ITCC. Tahun lalu ITCC kirim 350 calon mahasiswa untuk kuliah di Tiongkok.
Tiap tahun begitu. Sudah tujuh tahun lamanya. Dan masih akan terus. Total sudah lebih 1.000 yang kuliah di Tiongkok atas beasiswa yang dikoordinasikan ITCC.
Sambil makan siang kami pun ngobrol panjang. Seru. Empat mahasiswi berjilbab.
Plus satu mahasiswa lulusan pesantren Darul Hijrah Martapura Kalsel: Khairul Anwar. Kami ngobrol campur aduk; bahasa Mandarin, Indonesia, Jawa dan Banjar.
Khairul sendiri mahir berbahasa Arab. Dan Inggris. Pesantren Darul Hijrah memang binaan Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Sampai tahun ini sudah 50 alumni pondok Darul Hijrah kuliah di Tiongkok. Hanya kalah dari pondok Nurul Jadid Probolinggo dan SMA NU Gresik.
Sudah dua tahun mereka di Nanjing. Ambil mata kuliah bisnis internasional. Tinggal satu tahun lagi. Lulus.
Mereka ini ternyata mahasiswa yang gigih. Lihatlah saat mereka libur dua bulan. Sekitar tahun baru Imlek. Mereka cari kerja. “Saya jadi pelayan di restoran,” ujar Dinda Putri Ariyani, asal Sidoarjo. “Saya juga,” timpal Fattya Rosyana Oktovia asal Balikpapan.
Untuk cari uang. Dan cari pengalaman. Mumpung banyak karyawan mereka libur. Mudik masal ‘’lebaran Imlek’’.
Khairul beda: main band. Bersama empat mahasiswa asal Indonesia lainnya. Dia pegang bas. Nama bandnya gaul: Gaduh.
Sering dapat job. Untuk pesta kawinan orang Nanjing. Dengan lagu-lagu berbahasa Inggris. Untuk menaikkan gengsi pesta perkawinannya.
Khairul kelihatan ceria selalu. Padahal hatinya lagi galau. Pacarnya yang di Sampit kirim WA: minta putus. Mau kawin. Terlalu lama menunggu Khairul pulang.
Khairul pun menangis. Dua hari. Lalu menghapus semua foto pacarnya. Juga nomor teleponnya.
Habis makan kami pun jalan kaki ke masjid. Salat zuhur. Khairul jadi imam saya. Inilah masjid yang sangat tua. Dibangun tahun 1653. Sebelum komunisme lahir.
Dalam hal keluarga mereka sama: kangen ibu. Dalam hal makanan mereka juga sama: kangen makan tempe.
Dasar mahasiswa jurusan bisnis mereka jadikan itu bisnis. Bikin tempe. Dijual ke mahasiswa Indonesia lainnya. Di Nanjing saja ada 800 mahasiswa kita.
Saya jadi merasa berhutang kepada mahasiswa di universitas lainnya.
Citra Adetia Rahayu, misalnya. Mahasiswi Universitas Islam Indonesia Jogja yang lagi kuliah di Nanjing Xiaozhuang University.
Citra terus saja WeChat saya. Minta ke Universitasnya. UII memang bekerja sama dengan NXU. Seperti Citra.
Dua tahun pertama kuliah di UII. Dua tahun berikutnya kuliah di NXU Nanjing. Kelak Citra dapat gelar S1 dari dua universitas itu. Sarjana akuntansi.
Mereka itu semua memiliki nama Mandarin. Untuk memudahkan pergaulan.
Terlalu sulit bagi orang Tiongkok untuk mengingat nama seperti Citra Adetia Rahayu. Maka dia diberi nama Kang Sheng Xian.
Apalagi nama seperti Bernita Cahyaning Anuraga dari Sidoarjo. Sampai mati orang Nanjing gak akan bisa mengucapkannya.
Maka Bernita diberi nama Chen Xiang Li. Sedang Desi Damayanti juga dari Sidoarjo diberi nama Lin Ya Ting.
Semua dosen memanggil mereka dengan nama Mandarin. Hanya dosen bule yang selalu memanggil nama asli mereka.(***)