Jari ini begitu gatal. Ingin menulis tentang Pertamina. Yang hanya dalam tiga tahun lima kali ganti direksi. Saya bayangkan betapa ruwet jajaran di bawahnya.
Jari ini juga begitu gatal. Ingin menulis tentang bandara Kertajati. Tapi otak saya menolak.
Mengalahkan jari saya: jangan menulis itu. Kadang sampai harus saya pukul jari ini: tidak boleh. Kadang kemarahan otak saya reda: setidaknya jangan dulu.
“Lalu harus menulis apa?” tanya jari saya. Sambil meremas-remaskan dirinya.
Tulislah yang lain. Misalnya tentang durian. Maka dengan terpaksa jari ini menulis tentang durian. Durian saja.
Tidak ada risikonya. Bahkan banyak sekali manfaatnya: termasuk bagi negara. Kalau mau.
Jangan dianggap remeh: Alibaba baru saja berhasil menjual 80.000 durian. Dalam waktu 60 detik. Untuk pasar Tiongkok. Hanya dalam waktu satu menit. Kamis minggu lalu. Secara online.
Alhamdulillah, Puji Tuhan, yang dijual itu durian Thailand. Durian montong.
Bukan durian kita. Coba kalau durian kita, akan krisis durian di tanah air!
Dan ternyata selama ini Alibaba sudah melangkah jauh: berhasil menjual durian sebanyak 2 miliar buah. Untuk pasar Tiongkok saja.
Betapa beruntungnya petani durian Thailand. Buah tropiknya dapat pasar ekspor. Yang begitu gigantik.
Alibaba masih memberi komitmen lanjutan. Untuk Thailand: penjualan durian itu dilanjutkan. Selama tiga tahun ke depan. Senilai Rp 6 triliun. Atau tepatnya US 478 juta dolar. Begitu besar devisa dari durian. Belum dari buah tropik lainnya.
Kita, yang mestinya harus haus devisa, hanya bisa ngiler. Kita hanya bisa mengeluh diserbu Tiongkok. Kita tidak tahu bagaimana harus menyerbu balik.
Buah tropik adalah tentara tangguh kita: untuk menyerang Tiongkok. Memanfaatkannya.
Hubungan terbaik dengan Tiongkok adalah saling memanfaatkan. Bukan saling membenci.
Sudah ada 300 juta orang kaya di Tiongkok. Semua takut gemuk. Semua ingin sehat. Kalau malam hanya mau makan buah. Buah. Buah. Buah.
Dan yang paling eksotik adalah buah tropik. Hanya kita yang diberi nikmat oleh Allah berupa negeri tropik yang besar.
Aneh juga. Sekarang ini saya melihat durian di mana-mana. Di setiap kota di sana.
Harganya: sekitar Rp 400 ribu/buah. Yang beratnya 4,5 kg.
Aneh juga: mengapa orang Tiongkok mulai bisa suka durian. Kita menyebutnya Si Raja Buah. Mereka menyebutnya: Si Bau Kaos Kaki Busuk.
Rasanya kuat menyengat. Baunya memang …. begitulah.
Mungkin karena orang sana punya sudah lama punya makanan sejenis. Bau busuk kaos kaki. Namanya: chou doufu. Tahu busuk.
Saya pernah merasakannya. Tapi ampuuuuun: mau muntah.
Padahal kalau bisa menikmatinya bisa seperti durian. Ngangeni. Bikin kangen. Ingin makan lagi.
Seperti ke Banyuwangi bulan lalu: saya paksakan cari durian. Sayang tidak dapat yang durian merah. Atau kalau ke Jambi. Ke Medan. Ke Makassar. Ke Ambon. Ke Pontianak. Ke Sorolangun. Wajib cari durian.
Biarlah Thailand yang bedah hutan. Yang merintis pasarnya. Yang membuat 1,3 miliar pembenci durian menjadi menyukainya.
Kapan-kapan kita masuki durian yang kastanya lebih tinggi: dari Indonesia. Kapan-kapan. Kalau kita sudah mau tahu caranya. Dan kalau kita ingat bikin programnya.(***)