Ini cerita puluhan tahun silam di sebuah perkampungan di Serang. Pudin (35), bukan nama sebenarnya, yang berprofesi sebagai guru, hidup dengan perekonomian yang serba kecukupan.
Wajarlah, selain mengajar, ia juga memiliki sawah berhektare-hektare milik sang ayah. Berstatus sebagai guru senior, Pudin merasa punya kedudukan di sekolah tempatnya mengajar.
Hingga suatu hari, datanglah guru baru, wanita cantik asal Bandung yang merantau ke Serang. Sebut saja namanya Edah (25). Memanfaatkan situasi demi hasrat birahi, mentang-mentang pulangnya satu arah, dijadikan alasan mengantar ke rumah. Mengakunya ikhlas membantu rekan kerja, eh ternyata malah mengajak menikah.
Padahal sang istri, kita panggil saja Onah (32), sedang hamil muda. Duh, dasar nih Kang Pudin, baru saja kenalan, sudah berani antar pulang. Ya, namanya juga kucing, kalau dikasih ikan pasti meraunglah dia.
Seperti diceritakan Onah, Pudin adalah lelaki karismatik. Sikapnya yang kalem lengkap dengan jiwa solidaritas tinggi, membuatnya mabuk kepayang. Katanya nih ya, dahulu sewaktu muda, Onah tidak merespons sikap Pudin yang diam-diam menaruh hati padanya. Hal itu dilakukan lantaran Onah sudah ada yang punya. Namun setelah musibah kecelakaan yang menimpa saudara (anak bibi) Onah yang kebetulan teman Pudin. Saat itu yang menolong dan membiayai pengobatan adalah keluarga Pudin. Mengetahui hal itu, Onah tersentuh dan mulai membuka hatinya. Terus sama pacar Teteh sebelumnya bagaimana?
“Duh, itu sih sudah jadi masa lalu. Ya namanya juga hidup, kita harus bisa memilihi. Jadi, saya milih yang mapan dong, biar aman!” tukasnya. Duh, teganya!
Onah termasuk wanita yang memiliki paras di atas rata-rata. Dibanding dengan teman-temannya, ia selalu terlihat paling cantik. Kulit putih dengan wajah nan ayu, membuat Onah kerap jadi bahan obrolan lelaki di kampungnya. Setiap lewat tempat tongkrongan, tak ayal siulan-siulan gombal selalu muncul untuk dirinya. Kayak burung dong, Teh! Hehe.
Merasa sama-sama cocok, akhirnya Pudin melamar Onah. Dengan senyum semringah, Onah beserta keluarga menerima lamaran sang lelaki. Bagai sepasang merpati yang saling memadu kasih, mereka kini menanti saat-saat bahagia menuju jenjang yang lebih tinggi. Tidak butuh waktu lama, dua minggu setelah lamaran, berlangsunglah pesta pernikahan. Mereka saling menaut janji sehidup semati.
Awal pernikahan, Pudin termasuk suami yang baik. Jika urusan sandang, pangan, dan papan, mereka sudah tercukupi. Semua kebutuhan rumah tangga sudah disiapkan oleh keluarga sang lelaki. Meski hidup dengan segala kemudahan, tapi Pudin tidak berleha-leha menikmati kekayaan. Selayaknya suami pada umumnya, ia bekerja mencari nafkah untuk istri tercinta. Akhirnya, jadilah ia seorang guru sekolah dasar di kampungnya.
Awalnya Onah tidak menaruh curiga kepada suami. Layaknya guru pada umumnya, Pudin selalu pulang tepat waktu dan bersikap sewajarnya. Berangkat pagi, pulang sore. Di rumah pun tetap harmonis, pokoknya semua baik-baik saja. Hmmmm, rupanya Kang Pudin pandai bersandiwara.
Barulah setelah terdengar desas-desus tetangga yang mengatakan Pudin kerap mengantar guru baru pulang ke rumah, Onah mulai menaruh curiga. Ia mencoba menunjukkan sikap cemburunya kepada Pudin dengan berbagai cara, mulai dari memasang wajah cemberut, sampai tega tidak menyediakan kopi di pagi hari. Hanya itu yang bisa dilakukan Onah. Secara, Onah adalah wanita yang tidak berani marah alias takut sama suami. Hehe. Tapi, kasian juga tuh kalau enggak dikasih kopi, bisa-bisa Kang Pudin mengantuk terus mengajarnya, Teh.
“Biarkan saja! Biar tahu rasa,” tukasnya.
Mengetahui perubahan sikap sang istri, Pudin menanyakan baik-baik. Saat itulah Onah mengutarakan unek-uneknya. Lantaran kupingnya panas mendengar laporan tetangga tentang kelakuan suami yang suka mengantar wanita lain, ia pun marah dan sempat menitikkan air mata. Anehnya, melihat sang istri mewek, Pudin bisa menjawab keluhan Onah dengan nada biasa saja, ia hanya mengatakan, itu gosip dan hal lumrah. Waduh, memang Kang Pudin ngomong apa, Teh?
“Dia bilang cuma mengantar doang. Wajarlah namanya juga sama-sama guru! Begitu,” kata Onah meniru omongan Pudin.
Apalah daya bagi Onah, di tengah kondisi perutnya yang mulai membesar, ia justru merasakan sakit hati yang mendalam. Meski sudah berkali-kali menegur agar Pudin tidak lagi mengantar pulang, tetap saja sang suami melakukannya. Sontak hal itu menjadi bahan pergunjingan warga. Lagi-lagi, Onahlah yang menanggung derita. Tapi, namanya juga cinta, Onah tetap yakin bahwa suaminya tipe lelaki setia. Maksudnya, setiap tikungan ada ya, Teh?
“Enak saja, enggaklah. Dia itu memang setia. Buktinya, dulu waktu pacaran, dia enggak pernah selingkuh!” Sanggah Onah. Yaelah itu kan dulu, Teh!
Hingga akhirnya, ibarat bom yang meledak di tengah keramaian, sesuatu yang ditakutkan Onah terjadi juga. Akibat kedekatan Pudin dengan Edah sang guru baru, malapetaka pun tiba. Saat Onah baru saja melahirkan anak pertama, sang suami dikabarkan telah main serong bersama Edah. Hal itu diketahui warga setelah satu bulan Edah tak keluar rumah, ternyata perutnya sudah membesar. Dan warga meyakini bahwa itu anak Pudin. Aih-aih, ngeri amat sih Teh ceritanya.
Onah pun tak bisa menahan amarah. Ia mengamuk sejadi-jadinya, tak peduli dengan kondisinya yang masih lemah karena baru beberapa minggu menjalani proses kelahiran. Semua perabotan rumah dibantingnya sampai hancur berantakan. Meski sempat beberapa kali pingsan, ia tetap tak bisa menghentikan air mata. Akhirnya, pasangan muda itu pisah ranjang. Onah pulang ke rumah orangtua bersama bayinya, sedangkan Pudin harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Tiga bulan kemudian, ketika Onah sedang menggendong bayinya di halaman rumah, melintaslah sepasang suami istri dengan anak kecil yang berlari-lari ceria. Saat itu juga Onah ingat suaminya. Pudin yang dahulu memberi kebahagiaan dan juga kepedihan, kini entah bagaimana kabarnya. Tanpa sadar, Onah pun merindukannya.
Anehnya, seolah diberi jawaban oleh Tuhan, keesokan harinya saat ayam jago tetangga berkokok, terdengar suara pria dewasa mengucap salam sambil mengetuk pintu. Dibukalah oleh sang ibu, Onah pun dipanggil dan lekas menuju ruang tamu. Ketika kedua bola mata suami istri itu bertemu, tak ada kata kata terucap kecuali bahasa tubuh yang menandakan rindu.
Pudin memohon maaf dan meminta agar sang istri mau melanjutkan mahligai rumah tangga. Sambil memelas bahkan memegang lengan Onah, Pudin berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Melihat ketulusan sang suami, Onah yang memang gampang tersentuh, akhirnya menerima kembali cinta Pudin dan memberi kesempatan kedua.
Lain hal dengan Edah, lantaran malu terhadap warga kampung, ia pulang ke Bandung dengan membawa bayinya. Kini, Pudin dan Onah langgeng menjalani kehidupan rumah tangga sampai anak-anaknya besar. Tanpa sepengetahuan Onah, Pudin sesekali kerap mengirimi uang kepada Edah di Bandung.
Waduh. Ya, semoga rumah tangga Teh Onah dan Kang Pudin terus langgeng sampai akhir hayat! Amin. (daru-zetizen/zee/ira)