Etnis Tionghoa sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Banten. Keberadaannya sudah membaur dalam rentang perjalanan waktu yang sangat lama. Pembauran atau akulturasi budaya itu sulit dibedakan. Melekat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari konstruksi bangunan, bahasa, budaya, hingga ragam makanan sehari-hari.
Menelusuri pembauran tersebut, Radar Banten mengunjungi Kelenteng Boen San Bio di Jalan KS Tubun, Koang Jaya, Pasar Baru, Kota Tangerang, Kamis (31/1). Kelenteng terbesar di Tangerang itu dibangun oleh pedagang asal Tiongkok yang bernama Lim Tau Koen pada 1689.
Boen San Bio yang bermakna kebajikan setinggi gunung dibangun untuk menempatkan patung Kim Sin Kongco Hok Tek Tjeng Sin atau Dewa Bumi. Bediri di atas lahan seluas 4.650 meter persegi, kelenteng ini memiliki 14 altar.
Bersama Yan Suharlim, Pembina Yayasan Nimmala Kelenteng Boen San Bio, Radar Banten melihat satu per satu altar tersebut. Dari altar utama hingga ke taman cinta kasih yang menyuguhkan ornamen patung Dewi Kwan Im.
Di pojok taman yang tidak jauh dari patung dewi translasi Avalokitesvara Bodhisattva itu, dijumpai altar bertuliskan ‘Keramat Mbah Raden Surya Kencana’. Menurut pria yang akrab disapa Koh Bebeng, Raden Surya Kencana adalah pengeran keturunan Kerajaan Padjadjaran. Masa itu, Raden Surya Kencana melakukan perjalanan dakwah ke Jakarta dan Tangerang menyebarkan agama Islam.
Saat melakukan dakwah, Surya Kencana sering beristirahat tidak jauh dari Boen San Bio. Tepatnya di bawah pohon ambon di tepi Sungai Cisadane. “Setelah lama tidak datang lagi, warga yang biasanya mendengarkan ceramahnya membuat petilasan dengan gubuk sederhana,” kata Koh Bebeng.
Berjalannya waktu, gubuk itu terkikis abrasi hingga hampir jatuh ke sungai. Pihak kelenteng lalu memindahkan ke dalam. “Awalnya di pinggir Sungai Cisadane, kedua kalinya di seberang kelenteng, dan terakhir kami memindahkan di dalam,” kata pria yang menurut penanggalan China genap berusia 70 tahun ini.
Sejak dipindahkan ke dalam area kelenteng, petilasan Raden Surya banyak didatangi orang termasuk masyarakat muslim. “Banyak yang datang. Itu enggak cuma orang Tangerang, dari Bogor dan luar kota lain ada saja, apalagi kalau pas malam Jumat,” ujar Koh Bebeng.
Di depan petilasan terdapat sesaji dan tempat dupa dari batu alam. Menurut Koh Bebeng, itu sebagai penghormatan warga Tionghoa kepada Raden Surya.
Di dalam ruangan tersebut terdapat sepasang ranjang lengkap kelambu berwarna hijau daun. Ruangan itu dihiasi dengan relief patung macan hitam. Di bagian kiri terdapat Prabu Siliwangi yang ditandai relief patung naga emas.
Bagi muslim yang akan salat dan mengaji di sana, pihak kelenteng sudah menyiapkan perlengkapan salat dan Alquran. “Sehari-hari memang dipakai salat karyawan kita yang Islam,” kata ayah enam anak ini.
Di dalam petilasan Surya Kencana juga terdapat beberapa keris, golok, dan kujang beragam ukuran. Kata Koh Bebeng, benda-benda kuno didapatkan dari beberapa umat yang datang.
Pembauran etnis Tionghoa dengan warga setempat sudah berlangsung sangat lama. Bahkan, di sekitar kelenteng terdapat tempat peribadatan agama lain.
“Tidak lebih dari radius satu kilometer ada tempat ibadah. Di belakang kita ada masjid, seberang jalan gereja, dan samping ada kelenteng. Ini menunjukkan kita sudah membaur tanpa ada masalah,” katanya. (Supriyono)