Oleh: Ken Supriyono
MASA tenang menuju hari Pemilu 2019. Saya menulis tiga feature berjudul, ‘Bioskop-bioskop di Serang’. Berseri di Radar Banten, edisi tanggal 15 sampai 17 April 2019.
Tiga tulisan itu menelisik jejak-jejak gedung bioskop. Dari masa Hindia Belanda hingga era 1990-an. Hiburan paling diminati masa itu. Sekaligus ruang digelarnya pertunjukan.
Dahulu disebut opera. Mulanya di Batavia (Jakarta), De Nederlansche Bioscope Maatschappi, yang mulai beroperasi pada 5 Desember 1900. Disusul Toneel Melayu atau opera, di Surabaya. Pada era 1920-an, berdiri Banten Teater di Serang, Ibukota Residen Banten.
Datanya memang belum lengkap. Sama dengan bangunannya yang tak lagi lengkap. Terbengkalai. Bahkan, ada yang sudah terkubur bangunan lain. Penyebabnya, butuh riset panjang. Atau reportase lebih mendalam lagi. Juga komitmen, dan kepedulian para pihak pada aspek kebudayaan.
Jika tidak, maka terimalah kritik Abdul Malik, mantan Redaktur Pelaksana (Redpel) Radar Banten. Sekarang dosen di Unsera. Lewat tulisan artikel refleksi berjudul ‘Bioskop Merdeka,’ pada 11 September 2004, di halaman muka Radar Banten. Malik kritisi eks gedung bioskop Merdeka yang rata dengan tanah.
Peristiwa itu disebutnya malapetaka sejarah. Semuanya kecolongan. Mulai Balai Cagar Pelestarian Budaya (BPCB), Dinas Kebudayaan, hingga seniman pada Dewan Kesenian Banten (DKB). Padahal geliat berbudaya saat itu sedang ramai.
Ironisnya, ratanya eks gedung bioskop Merdeka bersamaan gelaran pertemuan: Forum Kesenian Banten (FKB), di Hotel kawasan Anyar. Konon, seniman dari sembilan provinsi hadir. Tapi, mengapa pertemuan penting itu, tak mengulas ratanya bangunan cagar budaya di Kawasan Royal. Kawasan niaga yang namanya juga diambik dari Royal Park atau Royal Room.
Tulisan Malik tak persoalkan pertemuan itu. Tapi sindirannya menohok. Disebutnya, seniman Banten naik kelas: dari Alun-alun ke hotel. Ia kritik sikap seniman yang tak terdengar suaranya. Bungkam.
“Para seniman muda yang dulunya lantang berteriak perlunya gedung kesenian Banten mendadak kelu. Mereka seperti kehabisan bensin. Energinya terkuras habis konflik internal,” tulis Malik. Entah konflik perebutan apa. Butuh seduh kopi lagi.
Kekesalan Malik wajar. Sebelumnya, seniman ramai-ramai mewacanakan: pendirian Gedung Kesenian Banten. Alun-alun Serang jadi saksinya. Tempat para seniman berdialog, dan rutin menggelar pertunjukan. Semuanya kritis: menyerukan eks gedung bioskop (Merdeka atau Pelita) sebagai ruang budaya baru ‘Gedung Kesenian’ di Ibukota Banten.
Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Eks gedung Merdeka telah roboh. Jejaknya hilang. Tak ada reaksi. Apalagi petisi.
Arsip pemberitaan Radar Banten dan Fajar Banten menyebut, gedung itu dirobohkan pada Juli 2004. Tapi, September baru ramai pemberitaannya. “Bangunan Sejarah Rata dengan Tanah, Kantor Purbakala Kacolonga; Riwayat Bioskop Merdeka yang Rata dengan Tanah; Selamat Tinggal Royal Park.” Itu beberapa judul berita yang saya temukan.
Entahlah. Kadang kala kenyamanan memang seperti candu. Ujian yang memabukan!!!
Kritik Malik adalah refleksi. Seperti maksud tersirat sajian tiga seri feature ‘Bioskop-bioskop di Serang.’ Percayalah, sejarah adalah cermin masa depan. Buah dari vibrasi pikiran manusia. Tugas generasi muda menangkap pesannya. Lalu, memproyeksikannya melalui karya nyata. Karena majunya masa depan adalah dari kita, oleh kita, dan untuk kita.
Sebagaimana kiasan sang Maestro Sastra Indonesia, Pramudya Ananta Toer. “Tak mungkin orang mencintai negeri dan bangsanya, kalau dia tak pernah mengenal kertas-kertas (sejarahnya)-nya. Apalagi, kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan buatnya.” Tapi, “jangan pula agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat…”
*****
Tiga feature Bioskop-biosko di Serang, saya mulai dengan mengunjungi Perpustakaan Daerah Banten, di Jalan Raya Serang-Jakarta, Pakupatan. Mencari referensi: lewat buku-buku sejarah.
Masih nihil, mungkin saja kurang teliti. Butuh pemandu. Juga kesabaran membaca satu per satu arsip yang tersedia.
Lembaga kajian sejarah (Banten Haritage dan Bantenologi) pun saya hubungi. Sayang sekali, belum ada hasil riset gedung eks bioskop di Serang. Juga, tulisan khusus dalam buku secara utuh. Hanya ada beberapa penggalan saja. Itu cukup membantu.
Penasaran semakin menjadi. Saya kontak Pak Tb Najib, arkeolog Banten yang bekerja di Pusat Arsip Nasional. Lama pula kami tak jumpa. Ternyata, Pak Najib di luar kota. Dia Sedang ada tugas pekerjaan di Bogor hingga Mei.
Ada sedikit bahan darinya. Sepintas saja. Itu juga membantu menjadi panduan.
Di sela-sela itu, banyak obrolan lain. Hanya saja, obrolan lewat telepon seluler tak ada chemistry. Saya jadi ingat perkataan teman, “maqom tertinggi silaturahmi adalah perjumaan fisik sekaligus pikiran.” Sama dengan cara Jurnalis menggali informasi saat reportase.
“Mei saja mas, saya pulang ke Serang. Diskusi, sambil ngopi santai,” ucapnya sebelum menutup percakapan via telepon seluler.
Saya iyakan. Toh, berjumpa dengan Pak Najib selalu ada wawasan baru. Tentang perbendaharaan lama Banten.
Dan, mestinya saya lanjut ke kantor Arsip Nasional, di Jakarta. Mungkin saja ada data arsip lengkap. Tapi, waktu terbatas. Deadline.
Cek-cek, kontak telepon lagi. Ada Pak Muqodas Syuhada Albantani. Dia dikenal sebagai Budayawan Banten. Artikelnya tentang ‘Wajah Kota Tanpa Identitas,’ pernah saya baca. Menarik. Menggugah sekali. Kini, dia aktif mengampanyekan gerakan bambu.
Tidak ada riwayat detail bangunan bioskop itu. Pak Muqodas uraikan aspek-aspek budayanya. Poinnya, Serang sebagai Ibukota Residen Banten. Ada kewajiban Kota Residen memiliki tempat hiburan warga. Strategi investasi pembangunan berbasis hiburan dan budaya yang dterapkan pemerintah masa itu.
Alasan lain, warga butuh saluran hiburan: menghilangkan kepenatan rutinitas kerja. Secara ekonomi juga menguntungkan investasi: sumber pendapatan. Selain itu, menjaga perputaran ekonomi warga kota: uang tidak keluar daerah.
Dari Pak Muqodas ada pengetahuan tambahan: jalan simpang empat itu ciri khas kota yang dibangun Belanda. Coba saja jalan-jalan ke jalur protokol di Ibukota Banten masa kini.
*****
BPCB Banten sasaran informasi selanjutnya. Konon pada 2004, mereka punya program mendata bangunan cagar budaya di Banten. Termasuk cagar budaya yang lenyap tidak terselamatkan.
Kebetulan di kotak telepon seluler ada nomor salah satu kepala seksi di BPCB Banten. Sebut saja Mr X.
Ah, rupaya kepala seksi itu sedang keluar kota. Ada workshop di Bandung. Dimintanya datang langsung ke kantor. “Temui Pak Jo (nama samaran),” sarannya lewat telepon.
Saya pun turuti. Datang ke Kantor BPCB di daerah Kepandean. Siang hari itu juga. Di pintu masuk BPCB, lebih dulu isi buku tamu. Itu prosedurnya. Baru dihantar Satpam menuju ruangan Pak Jo. Anggaplah nama lengkapnya, Jo Kesuen: bahasa Jawa yang terjemahan Indonesia-nya, ‘jangan kelamaan.’
Orangnya tak ada di ruangan. Sedang keluar rapat. Sore harinya, saya kembali. Seperti siang tadi, ketemu Satpam lebih dulu. Baru dihantar ke ruangan tujuan. Dan, ketemulah dengan Pak Jo. Basa-basi perkenalkan diri. Lalu, jelaskan maksud dan tujuan meminta data dan informasi: penunjang bahan tulisan news feature, riwayat jejak bioskop.
“Kita punya, tapi sekilas saja,” ujarnya. “Tapi harus ada surat permohonan,” sambungnya seraya jelaskan syarat-syarat administrasi birokrasi di BPCB.
Ah, urusan artefak dan kebudayaan masih saja birokratis! Kesal juga. Tapi, reportase juga sesekali melatih kesabaran, sesekali untuk hiburan. Sisanya, jadi ruang pembelajaran. Buahnya: pengetahuan dan pengalaman.
Mau tidak mau harus saya sanggupi. Urus-urus surat perizinan. Esok hari kembali ke BPCB. Menghantarkan surat permohonan: data dan foto bioskop peninggalan masa Hindia Belanda di Serang.
Tapi, tetap saja nihil. Satu, dua, tiga hari tak ada kepastian. Sampai tulisannya jadi. Diturunkan tiga seri, tidak pula ada data itu diterima. “Saya belum dapat disposisi dari pimpinanan,” balas Pak Jo saat dikonfirmasi ulang sebelumnya.
Banyak jalan menuju Roma. Jalan alternatifnya, penuturan dari orang-orang yang mengalami keberadaan bioskop. Saya temui: Emak Malik, Pak Iit, Asep, dan Iwan Subekti.
Itulah proses. Toh, ada peribahasa, ‘hasil tidak akan mengingkari proses.’ Dan, tradisi lisan itulah asal muasal penulisan sejarah. Juga ilmu komunikasi paling purba.
Karenanya, sudah keharusan datang langsung ke lokasi-lokasi bioskop. Wajib hukumnya bagi jurnalis. Reportase dan observasi di TKP (tempat kejadian perkara). Mengamati dengan indra yang kita miliki. Juga menggali dari mana pun sumber yang bisa diverifikasi.
Lokasi eks gedung biokop Pelita (Banten Teater) di Jalan P Purbaya, Pasar Lama, Kota Serang. Tepat di muka gedung, ada warung kopi Mak Malik. Warung itu dinamai ‘Pelita’. Perempuan paruh baya yang lebih peduli. Dia abadikan nama Pelita untuk pengharapan hidupnya.
Hmmm, secangkir kopi menjadi pemantik perbincangan. Masih hangat. Asapnya mengepul tipis. Semakin hangat dengan obrolan kenangan lama hiburan bioskop.
Informasi-informasi penuturan lisan saya dapati. Memang masih sulit dirangkai menjadi rancang bangun berita utuh. Yang paling memungkinkan jadi awalan, penuturan Iwan Subekti. Masa kecil hingga remajanya banyak dihabiskan di sekitaran Pelita. Dia pernah aktif pula, memerhatikan budaya-budaya di Banten. Dia pun masih ingat desain bioskop itu.
Informasi paling dalam saya dapati dari Abah Yadi Ahyadi. (Baca hasil beritanya). Abah Yadi aktif di Bantenologi. Kami bertemu di kantin Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Pertemuan itu, setelah satu kali batal bertemu.
*****
Secangkir kopi menjadi teman obrolan kami. Dari siang hari hingga senja berkecambah. Yang menyenangkan, tak sekadar dapat informasi. Beberapa anak teater di kampus dengan nama Sultan Pertama Banten itu, sedang latihan drama. Juga pembacaan puisi: Sajak Pertemuan Mahasiswa, karya WS Rendra.
“Di bawah matahari ini kita bertanya….. Dan maksud baik kita berdiri di pihak mana?,” begitulah penggalan bait terakhir puisi yang dibaca mahasiswa sore itu.
Nikmat sekali. Di kampus, masih ada hiburan bersenandung budaya.
Idealisme mahasiswa masih ada. Kampus memang ruang menyurahkan ekspresi dan pikiran. “Anak muda memang harus peduli budaya,” gumamku dalam hati.
Panjang lebar pun sudah Abah Yadi uraikan. Beberapa spekulatif. Tapi jadi pemanis kisah perbendaharaan lama yang sudah terbengkalai.
Entah sudah berapa jam. Kami seperti menggali harta karun. Disarankannya agar membaca koran-koran lama masa Hindia Belanda: De Banten Bode, Suara Tirtayasa, Oetusan Hindia, dan lain-lainnya.
Beberapa arsip korannya tersimpan di Banten Corner, ruang di Perpustakaan Daerah Banten. “Saya sudah cari-cari. Tak ketemu,” keluhan yang hanya dibalas senyum Abah Yadi.
Diteguklah kopi hitam di depannya. Saya ikuti.
Abah Yadi kembali cerita. Dari sekadar bangunan tua hingga kontribusinya. Bioskop yang dibangun Pengusaha Tionghoa bernama Lie Soe Feng, tak hanya suguhkan hiburan. Bukan juga sekadar urusan bisnis. Ada kepedulian bagi ruang budaya, dan dunia pendidikan bagi pribumi.
Buktinya ada. Coba baca buku ‘Banten dan Pembaratan, Sejarah Sekolah 1833-1942’, karya Sejawaran Banten Mufti Ali.
Fokus bukunya mengulas sejarah pendidikan dan sekolah di Banten. Hanya saja, di satu bagian tertulis peristiwa Juni 1934. Masa-masa saat Perhimpunan Tirtayasa, yang banyak himpun orang Banten (sebagian di Bandung dan Batavia) tengah mengembangkan Hollands Indlans School (HIS) met de Koran, di Kaloran, Serang. (Baca: Sekolah).
“Sebagian pendapatan dari karcis bioskop untuk sekolah,” kata Abah Yadi.
Waktu itu, pemilik Royal Park yang orang Tionghoa itu, bekerjasama dengan Perkumpulan Tirtayasa, dan Perkumpulan Darnalella. Sebuah perkumpulan para seniman yang terkenal di masanya.
Mereka menggelar pertunjukan di malam minggu. Hasilnya, disumbangkan untuk kas HIS met de Koran. “Gedung pertunjukan bagi sebuah kota itu wajib sebagai sarana mengekspresikan budaya,” kata Abah Yadi.
Jadi, jangan heran kota-kota yang terkait Kerajaan atau Kesultanan selalu memiliki gedung kesenian. Masa kesultanan Banten pun sudah ada. Tempatnya di halaman Surosowan. Namanya Panayagan: tempat bermain musik saben Sabtu. Coba kroscek lagi!
Sekali lagi, warga selalu butuh ruang ekspresi itu. Itu sudah kebutuhan manusia. Entah dengan sebutan ruang publik, ruang budaya, ruang hiburan, atau lainnya. Intinya untuk aktualisasi diri.
Kemajuan kota sudah keharusan. Tugas pemerintah melaksanakannya. Tapi, harus berbanding lurus dengan kebahagiaan dan ekspresi warganya. Pra syaratnya sederhana: komitmen tuan pejabat negara dan kesadaran bersama warganya. ‘Maju kotanya, bahagia warganya,”seperti tagline Anis Baswedan di DKI Jakarta.
Senja semakin merona. Abah Yadi mulai sampaikan keresahannya: menyoal jejak-jejak sejarah dan kearifan Banten yang banyak ditinggalkan.
Orientasi pembangunan, kini hanya bertumpu soal-soal fisik. Aspek historis, budaya, dan lingkungan banyak tak diindahkan. “Semua belum terlambat, kita mesti bangun kesadaran bersama,” cetusnya.
Jika tidak, bisa-bisa ke depan kita akan kehilangan identitas Kebantenan. “Jurnalis punya tugas dengan tulisannya.” Pesan Abah Yadi mengingatkan pada dialog Nyi Ontosoroh dan Minke. Tokoh utama, dalam Tetralogi Buruh karya Pramudya Ananta Toer.
“Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah.” Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Minke sebagai anak Bupati, personifikasi dari sosok Tirto Adhisuryo. Bapak pers nasional pencetus Koran Medan Priyayi. Tageline-nya ‘Suara untuk Bangsa Terperintah.’
Secangkir kopi hampir habis. Sampailah petuah Sultan Abu Mufakir, dalam sepenggal Kitab Sajarah Banten menjadi penutup. “Wong Banten kudu ngagurat tapak leluhur. Aje sampe udan guru banjir ilmu, wong salah malah kaprah, wong bener ora lumrah.” “Orang Banten harus melacak peristiwa-peristiwa masa lalunya. Jangan sampai kita hari ini menghadirkan banyak guru dan belajar banyak ilmu, tapi orang berbuat salah semakin merajarela dan orang berbuat baik semakin terkubur.”
Mari kita insyafi. Jalan kebudayaan kita!!!
Di Sudut Ibukota Banten, 18 April 2019
@kensupri
Jurnalis Radar Banten/Pegiat Journalis Lecture