Oleh : Dr. KH. Encep Safrudin Muhyi, MM, M.Sc, Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ َ
Artinya: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Ali Imran : 134).
Penyucian Diri
Puasa Ramadan bukan hanya melaksanakan puasa untuk menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Tetapi puasa sebagai ajang penyucian diri dan pembersih jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah dan nafsu amarah. Tentu saja tidak sekedar diartikan secara harfiah hanya menjaga untuk menahan lapar, haus, dan hawa nafsu.
Puasa merupakan ajang untuk menjaga integritas, baik dalam taat melaksanakan ibadah kepada Allah, maupun integritas terhadap sesama manusia. Mestinya melalui ibadah puasa ini kita mampu mengambil hikmah tertinggi. Atas dasar keimanan kita, kita menegakan keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui.
Kita jadikan ibadah setiap bulan Ramadan ini sebagai upaya untuk terus menjaga integritas. Satu karakter yang akhir-akhir ini mulai hilang. Mudah diucapkan tetapi sulit diterapkan. Dengan mendasarkan diri dan meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui setiap langkah kita, maka hidup kita, pikiran, ucapan, dan tindakan akan semakin lebih baik.
Puasa Ramadan mempunyai peran sebagai pengontrol kestabilan emosi. Kestabilan emosi merupakan keadaan emosi seseorang yang diperlihatkan dengan sikap yang sesuai harapan sosial, tidak berlebih-lebihan dalam mengekspresikan emosi serta bisa menyeimbangkan antara kebutuhan fisik dan psikis.
Psikolog mengatakan bahwa kestabilan emosi dapat terbentuk berdasarkan karakteristik individu yang mempunyai kontrol baik dan akan selalu mempertimbangkan segala tingkah lakunya dengan matang, selain itu mereka akan berfikir dan bertindak secara realistis sesuai dengan keadaan yang ada serta tidak tergesa-gesa untuk mengambil suatu tindakan tanpa perhitungan yang matang.
Terkadang saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, tantangan yang paling sulit terletak pada kemampuan menahan emosi dan amarah terhadap orang lain, baik itu terhadap orang di rumah, karyawan di kantor bahkan orang yang tidak kamu kenal di jalan.
Oleh karenanya, puasa Ramadan memiliki manfaat untuk mengendalikan emosi dalam diri seseorang yang menjalankannya. Maka dari itu, Ramadhan juga sering disebut bulan pelatihan bagi seluruh umat Muslim. Saat Ramadhan, ada situasi kebersamaan (social support) yang dapat membuat individu mampu mengelola emosinya.
Menahan Amarah
Dalam konteks puasa Ramadan, menahan amarah juga merupakan bentuk penghormatan terhadap ibadah yang sedang dilakukan. Dengan mengendalikan diri dari amarah, seseorang menunjukkan komitmen yang lebih dalam terhadap prinsip-prinsip puasa, yakni memperbaiki akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah.
Puasa tidak hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan amarah. Dalam bulan suci Ramadhan, praktik ini menjadi lebih penting karena menciptakan lingkungan yang damai dan penuh kasih sayang.
Menahan amarah saat puasa adalah tindakan spiritual yang mendalam, membutuhkan kesabaran dan pengendalian diri yang kuat. Menahan amarah bukanlah tugas yang mudah, terutama di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh dengan stres dan tantangan. Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang baik dalam hal tersebut, mengajarkan umatnya untuk mengendalikan emosi mereka bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Az Zumar ayat 10 :
إِنَّمَايُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas”.
Dengan demikian, Mengendalikan amarah tidak hanya bermanfaat secara spiritual, tetapi juga memiliki dampak positif pada hubungan sosial. Ketika seseorang mampu menahan amarahnya, ia mampu membangun hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain, menghindari konflik yang tidak perlu, dan menciptakan atmosfer yang lebih damai di sekitarnya. Tentu saja, menahan amarah tidak berarti menekan emosi atau menjadi pasif. Sebaliknya, itu adalah tentang menemukan cara yang sehat untuk mengelola emosi negatif dan mengekspresikannya dengan cara yang produktif dan penuh kasih.
Mengendalikan diri dari amarah, seseorang menunjukkan komitmen yang lebih dalam terhadap prinsip-prinsip puasa, yakni memperbaiki akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jadi, di tengah kesibukan dan tekanan kehidupan sehari-hari, marilah kita jadikan puasa Ramadhan sebagai kesempatan untuk mengasah kemampuan kita dalam menahan amarah. Wallahu A’lam.

Dr. KH. Encep Safrudin Muhyi, MM, M.Sc, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Serang / Penulis Buku Islam Dalam Transformasi Kehidupan & Buku Kepemimpinan Pendidikan Transformasional.