Oleh : Dr. KH. Encep Safrudin Muhyi, MM., M.Sc., Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 2-3)
Makna Integritas
Integritas adalah keselarasan antara hati, pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik dan benar. Integritas merupakan gambaran diri kita dalam suatu organisasi yang terlihat dari perilaku dan tindakan sehari-hari. Integritas menunjukkan konsistensi antara ucapan dan keyakinan yang tercermin dalam perbuatan sehari-hari.
Adapun Nilai integritas inti, yaitu : jujur, bertanggung jawab, dan disiplin. Berintegritas jujur adalah lurus hati, tidak curang dan tidak berbohong. Sementara tanggung jawab memiliki arti siap menanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan alias tidak buang badan.
Integritas menunjukan konsisten antara ucapan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memiliki integritas biasanya berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara sehingga perilaku dan tindakannya sesuai dengan apa yang diucapkan. Salah satu contoh berintegritas adalah berpikir positif.
Integritas dapat diartikan praktik bersikap jujur dan menunjukkan kepatuhan yang konsisten dan tanpa kompromi terhadap prinsip dan nilai moral dan etika yang kuat. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran atau keakuratan tindakan seseorang.
Dengan demikian, seseorang yang sifatnya baik tanpa memiliki integritas dan etika kemungkinan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, sehingga belum bisa mendatangkan manfaat positif buat sesamanya. Nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, pengabdian, kontribusi, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai dasar untuk menciptakan integritas dan etika karena kepribadian yang berintegritas dan beretika pasti akan memahami dan mampu membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik, serta selalu menjadi pribadi yang jujur kepada diri sendiri untuk melayani tugas dan tanggung jawab sesuai aturan dan nilai-nilai positif.
Berintegritas itu berpihak pada kebenaran, jujur, dan mutlak dimiliki setiap orang apalagi mereka yang memegang amanah atau dipercaya sebagai pemimpin. Kita wajib berjuang mempertahankan integritas atau moralitas sepanjang hayat, karena ketika lengah sedikit saja bisa jadi terjerumus dalam kesalahan dan baru menyadarinya ketika telah terperosok dalam penderitaan dan penyesalan.
Ramadan dan Integritas Diri
Momentum puasa pada bulan Ramadhan semestinya bisa menjadikan titik pijak bagi kita untuk dapat membangun integritas diri sehingga dapat pula menularkan nilai-nilai integritas di lingkungannya. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan yang artinya :
Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukKu dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung (HR Bukhari)
Hal tersebut memberikan tuntunan bahwa dalam berpuasapun dituntut adanya nilai sebuah integritas. Saat berpuasa orang akan dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh ataupun berpura-pura, hanya dirinya dan Tuhannya yang mengetahui.
Pada dasarnya hakikat puasa adalah meninggalkan kebohongan dan kedzaliman/tindakan yang sia-sia. Berbohong memang tidak menyebabkan batalnya puasa, tetapi pada hakikatnya ia bukanlah orang yang puasa, puasanya telah rusak sehingga pahalanya berkurang atau bahkan hangus sama sekali, meskipun seharian menahan lapar dan dahaga. Apalagi jika kebohongannya berdampak besar, misalnya bersumpah palsu, menipu orang, mencuri apalagi korupsi. Semakin besar dampak negatif yang timbul, semakin jauh ia dari hakikat puasa.
Berdasarkan konsep tersebut diatas, sebuah Integritas akan dapat terwujud dan menjadi sebuah budaya manakala hal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan tanpa adanya unsur-unsur lain yang dapat mengotorinya, seperti: riya (pamer), ingin dipuji, ingin terkenal dan lain sebagainya. Dalam berintegritas bisa saja dilakukan sekedar untuk mendapatkan penilaian ataupun pujian dari orang lain maupun pihak lain, namun integritas yang seperti ini artinya tidak dilandasi dengan keikhlasan. Integritas yang seperti ini hanyalah integritas di atas kertas, yang disusun dan dibangun sekedar untuk mendapatkan penilaian.
Untuk itu, kita perlu menghayati dan memahami tentang integritas diri menurut ajaran Islam antara lain :
Pertama, Mu’ahadah merupakan perjanjian dengan Allah Swt sebelum manusia dilahirkan. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani).
Kedua, Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh mengerjakan amal saleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah taala yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya hamba yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Allah.
Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal saleh, dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (rida) Allah Swt tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan setan yang terus menggoda.
Ketiga, Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah Swt. Sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah Swt senantiasa melihat dirinya.
Keempat, Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir. Dengan melakasanakan muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya. Allah Swt memerintahkan hamba-Nya untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Swt. Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya.
Kelima, Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfak dan sebagainya. Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju rida dan ampunan Allah.
Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa untuk membentuk mental dan kepribadian seseorang dibutuhkan sifat dan sikap yang harus dilaksanakan dengan sungguh sungguh sehingga ia menjadi manusia yang jujur atau berintegritas. Wallahu A’lam.

Dr. KH. Encep Safrudin Muhyi, MM., M.Sc. adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Serang / Penulis Buku Islam Dalam Transformasi Kehidupan & Buku Kepemimpinan Pendidikan Transformasional).