Minah (29), nama samaran, hanya bisa pasrah menerima kenyataan hidup batal menjadi orang kaya. Harta warisan yang didapat suami, sebut saja Jaja (30), dari orangtuanya habis dipakai suami yang terlilit utang bekas judi dan foya-foya. Kehidupan rumah tangga Minah pun kini terpuruk. Yassalam.
Alasan wanita bertubuh gempal itu mempertahankan rumah tangga dipicu suaminya yang menjadi salah satu ahli waris harta orangtua yang dikenal lumayan berada. Apalagi Jaja anak bungsu dari tiga bersaudara, pastinya tak ketinggalan kebagian warisan. Lumayanlah kecipratan jadi orang kaya. Padahal, perilaku Jaja selama berumah tangga tidak ada yang positif. Jaja gemar judi dan mabuk-mabukan. Kondisi itu bahkan sempat dikeluhkan keluarga Minah karena sudah membawa citra buruk nama keluarga. Apalagi keluarga Minah kental dengan ajaran agamanya.
“Enggak tahan sama sikap dia, untungnya dia masih menafkahi,” tukasnya. Bagus dong, masih sadar tuh suami.
Minah ditemui Radar Banten di sebuah cafe tak jauh dari Alun-alun Serang. Minah saat itu sedang menikmati secangkir kopi hitam. Penampilannya modis dan wajahnya lumayan manis. Sikapnya juga ramah dan mau menceritakan kisah pahit rumah tangganya.
Diceritakan Minah, pertemuannya dengan Jaja ketika Minah berkunjung ke rumah temannya. Jaja merupakan kakak teman Minah. Keduanya jatuh cinta pada padangan pertama dan tak butuh lama untuk disandingkan menjadi sepasang kekasih. “Saya dicoblangin sama teman, eh jadian deh,” kenangnya. Gercep amat, Mbak.
Minah mengaku langsung tertarik dengan Jaja karena wajahnya yang lumayan rupawan, tubuhnya juga kekar, selain sudah punya pekerjaan tetap sebagai karyawan pabrik. Sikap Jaja juga lembut dan perhatian. Begitu pun dengan Minah yang low profile dan membuka diri dengan siapa pun. Kalau tubuhnya memang sudah agak montok dari muda.
Setelah dikenalkan oleh Minah, kedua orangtuanya langsung menginginkan mereka cepat menikah. “Soalnya, dulu banyak yang melamar saya, tapi ditolak karena masih sekolah. Pas lulus, disuruh cepat-cepat,” katanya. Benar tuh orangtua, daripada gaul enggak karuan, mending menikah sah.
Tiga bulan kemudian, Jaja melamar Minah. Pesta pernikahan digelar cukup meriah. Mengawali rumah tangga, keduanya tinggal sementara di rumah keluarga Jaja. Minah pun selama menumpang di rumah mertua mendapatkan perlakukan baik. Keduanya pun hidup bahagia.
Setahun kemudian, mereka dikaruniai anak. Namun, sejak itu pula sikap Jaja berubah. Jaja tak lagi lembut dan perhatian maupun bersemangat bekerja untuk menafkahi Minah. Jaja jadi gemar mabuk-mabukan dan judi. Malah Minah mendapat kabar buruk kalau Jaja dipecat dari pekerjaannya. Kondisi itu mengakibatkan kehidupan ekonomi mereka semakin hari serba kekurangan.
“Pokoknya, pas Mas Jaja enggak kerja, mau beli apa-apa enggak ada uang saja,” keluhnya. Kan masih ada mertua yang kaya.
Setiap kali Minah meminta uang, Jaja sering menjanjikan bakal kebagian harta warisan. Sejak itu, kehidupan rumah tangga mereka mengandalkan uang orangtua Jaja. Namun, perilaku Jaja malah makin menjadi-jadi. Setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan dan main judi. Sejak itu, Minah merasakan pahitnya kehidupan rumah tangga meski ditopang harta mertua. Minah sampai delapan tahun bertahan berumah tangga, tetapi tak kunjung datang harta warisan yang dijanjikan suami. Yang ada hidup Minah semakin susah karena ternyata suami terlilit utang bekas pinjaman karena kalah judi dan untuk mabuk-mabukan.
“Kita jadi terlilit hutang, belum lagi mertuanya sakit-sakitan. Setahun kemudian orangtua Jaja meninggal. Harta warisan ya habis dipakai bayar utang dan rebutan sama saudaranya,” sesalnya. Yang sabar ya, Mbak Minah.
Seiring waktu, hubungan Minah dan Jaja semakin memburuk karena kondisi itu. Keributan hampir terjadi setiap hari di antara mereka. Minah minta cerai, tetapi tak ditanggapi oleh Jaja. Sampai akhirnya, Minah memutuskan untuk pisah ranjang. “Sudah tiga bulan saya tidur di rumah keluarga. Bodo amat suami mau ngapain juga,” kesalnya.
Minah mengaku sudah tidak mempunyai perasaan lagi terhadap Jaja. Ia masih mempertahankan rumah tangganya karena ingin memperjuangkan hidup kedua anaknya yang memasuki usia remaja. “Saya enggak mau anak-anak saya ikut merasakan penderitaan yang saya alami jika sampai bercerai,” akunya. Ya ampun, sabar ya, Mbak Minah. Semoga ada solusi terbaik ke depan. Amin. (mg06/zai/ira)