SERANG,RADARBANTEN.CO.ID-Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika. Indonesia berpenduduk besar dengan ribuan pulau, ratusan etnis dan bahasa bisa bersatu dan bersama-sama. Bahkan dengan agama yang berbeda pula.
“Saya merasa bangga dan bersyukur memiliki Republik Indonesia, negara besar setelah China, India, dan Amerika. Indonesia juga besar karena umat Islamnya terbesar. Umat Islam terbesar di dunia, tidak ada selain Indonesia,” ungkap Wakil Ketua Umum MUI Pusat KH Marsudi Syuhud saat memberikan tausyiah pada acara Pengajian Ulama Umara dan Halal Bihalal 1445 Hijriah MUI Provinsi Banten di aula Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Banten, Senin 6 Mei 2024.
Acara dibuka Staf Ahli Gubernur Banten Bidang Kemasyarakatan dan SDM M Agus Setiawan mewakili Pj Gubernur Banten Al Muktabar, dihadiri pengurus MUI Banten, perwakilan ormas Islam, Polda Banten, dan Korem 064/Maulana Yusuf.
“Di Indonesia kita bersyukur sekali bisa hidup aman, aman, tenteram,” ungkap Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.
Ia pun bercerita dan membandingkan dengan sejumlah negara lain. Dirinya pernah keliling di negara-negara konflik karena menjadi bagian dari misi gerakan perdamaian dunia.
“Mayoritas negara konflik moslem country. Negara yang mayoritas Islam. Kenapa mayoritas Islam, negara Islam konflik karena belum bisa menjaga antara perbedaan-perbedaan yang dimiliki,” ungkapnya.
Sementara Indonesia, lanjut dia, punya 17.000 pulau, punya 300 etnis, dan punya bahasa 337, yang semacam ini alhamdulillah kita bisa bersatu. “Sebab kenapa?” tanyanya.
Ia menjelaskan, setelah berkeliling ia berkesimpulan. Kita harus bersyukur karena bangsa Indonesia mempunyai kultur budaya yang tidak dipunyai oleh negara-negara lain. Budaya apa yang bisa mempersatukan?
“Ini Pak Gubernur, Pak Polisi, Pak Tentara dan lain-lainnya harus paham ini. Inilah budaya yang negara lain tidak punya. Kalau budaya ini dianggarkah oleh APBN atau APBD saya yakin tidak ada yang mampu. Tidak akan mampu untuk membiayai ini. Apa itu? Budaya kumpal kumpul. Apa? Budaya kumpal kumpul. Ngariung,” ungkapnya.
Budaya itu, lanjut dia, diceritakan setiap tahun ketika diundang di Vatikan. Ia pidatokan di depan tokoh-tokoh agama di dunia dan ketika keliling di beberapa dunia untuk menyampaikan perdamaian. Antara lain budaya yang sangat mahal, budaya yang tidak dipunyai oleh bangsa lain adalah budaya ngariung, kumpal kumpul.
“Coba ayo hitung. Ini saya ngomong NU dulu karena saya orang NU. Di NU, mungkin sama dengan organisasi, kalau ada di pusat ada 87 organisasi di bawah MUI,” ungkapnya.
Budaya di NU, lanjut di, setiap orang saja minimal 15 kali pertemuan atau lebih. Mulai dari lahiran, walimatul tasmiyah atau memberi nama, kemudian sunatan, setelah itu nikahan. “Ngundang-ngundang gak? Pasti ngundang tetangga. Kumpul,” ungkapnya.
“Kumpul-kumpul suami istri yang baru, kumpul lagi. Berhasil (hamil) 4 bulan, kumpul lagi. 7 bulan, kumpul lagi ngundang tetangga,” lanjutnya.
Belum lagi jika meninggal dunia, kata Marsudi, akan kumpul lagi. 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, lalu haul. Kemudian ada rajaban, kumpul lagi. Maulid, kumpul lagi. Lalu mau berangkat haji, kumpul.
“Masih kurang lagi, halal bihalal kumpul, Agustusan, Hari Santri, May Day atau hari buruh, kumpul. Kumpul kumpul inilah sesungguhnya hal paling mahal, hal yang paling strategis dan mengena untuk menyatukan dan mempersatukan bangsa Indonesia,” ungkap Marsudi.
Jadi, lajut dia, jangan dianggap murah. Jika dianggarkan APBD, berapa biayanya.
“Budaya kumpal kumpul ini jadi contoh kecil. Saya pidatokan di mana-mana, termasuk di beberapa negara saya contohkan ini,” jelas Marsudi
Karena itu, ia menegaskan persatuan dan kesatuan ini penting. Di Indonesia sesuatu hal didasarkan dari hasil musyawarah mufakat.
“MUI harus bisa menyampaikan, bangsa, negara Indonesia yang berketuhanan maha esa berdasarkan Pancasila adalah negara yang sudah berdasar musyawarah dan musyawarah perintah agama maka negara kita adalah sudah sesuai dengan ajaran agama kita,” ungkap Marsudi. (*)
Reporter : Aas Arbi
Editor: Agung S Pambudi