PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, para bakal calon kepala daerah diminta untuk memberikan perhatian khusus terhadap isu perlindungan anak dan perempuan. Apalagi, pada momentum 23 Juli besok merupakan Hari Anak Nasional (HAN).
Hal ini mengingat pentingnya kedua isu tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketua Pandeglang Care Movement (PCM), Ahmad Subhan, menjelaskan pentingnya pendekatan sosial dan budaya dalam upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Ia juga menggarisbawahi perlunya menangani persoalan pokok yang dihadapi perempuan dan keluarga dalam kehidupan ekonomi mereka.
“Karena banyak persoalan perempuan dan anak-anak terjadi di pedesaan, program pengentasannya juga banyak tertuju ke pedesaan,” kata Ahmad Subhan kepada Radar Banten, Senin, 22 Juli 2024.
Ahmad Subhan menegaskan bahwa dalam kontestasi Pilkada 2024, baik dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Banten maupun Pemilihan Bupati (Pilbup) Pandeglang, isu perlindungan perempuan dan anak harus menjadi prioritas utama.
Pasalnya, ia belum melihat adanya komitmen yang jelas dari para calon terkait visi dan misi mereka dalam hal keberpihakan kepada perempuan dan anak, termasuk dari calon pemimpin perempuan itu sendiri.
“Padahal, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Banten sangat mengerikan. Terjadi 626 kasus kekerasan terhadap anak di Banten, membuat provinsi ini menduduki peringkat keenam di Indonesia. Angka ini terdiri dari 196 korban laki-laki dan 430 korban perempuan,” terangnya.
Aang menuturkan bahwa dari berbagai jenis kekerasan yang terjadi, kekerasan seksual adalah yang paling sering. Angkanya mencapai 363 kasus, diikuti kekerasan psikis sebanyak 154 kasus, kekerasan fisik 147 kasus, dan sisanya disebabkan oleh jenis kekerasan lainnya.
“Dilihat dari pelakunya, kekerasan anak di Banten paling banyak dilakukan oleh pacar atau teman, dengan jumlah 144 kasus. Sementara itu, 127 kasus dilakukan oleh orangtua. Kekerasan anak paling banyak dilakukan oleh laki-laki, yaitu 372 kasus, sedangkan perempuan 91 kasus,” jelasnya.
Ia menyampaikan, berdasarkan tempat kejadian, kekerasan anak paling sering terjadi di rumah tangga, dengan jumlah mencapai 313 kasus. Jumlah korban kekerasan juga paling banyak terjadi di rumah tangga, yakni mencapai 348 anak.
“Dari sisi usia, anak dengan rentang usia 13-17 tahun menjadi kelompok yang paling banyak mengalami kekerasan, dengan tercatat 375 kasus,” tuturnya.
Menurut dia, maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan oleh persepsi yang salah tentang perempuan dan anak. Di antaranya, perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, dan anak dianggap sebagai milik orang tua yang bisa diperlakukan sesuai keinginan mereka.
“Sosialisasi tentang hak-hak perempuan dan anak menjadi hal penting bagi calon pemimpin, karena permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak begitu kompleks. Undang-undang juga sudah mengamanatkan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki. Ada tanggung jawab yang sama untuk melindungi HAM perempuan, serta tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk bersama-sama mengupayakan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” bebernya.
Ia melanjutkan dengan harapan agar calon pemimpin memiliki program yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak melalui pemberdayaan dan perlindungan.
“Bukan hanya dijadikan ajang kampanye politik saja, tetapi harus sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan bangsa dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan maupun anak,” harapnya.
Meskipun saat ini sudah ada banyak instansi layanan dan pengaduan bagi korban, ia yakin masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak terungkap dan diketahui oleh berbagai layanan tersebut maupun negara.
“Hal ini dapat dimaklumi, mengingat keberpihakan kepada korban tidak lebih baik dibandingkan perlakuan hukum kepada pelaku,” tandasnya. (*)
Editor: Agus Priwandono