SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Rumah pribadi Sarnata dan kantor Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kota Serang digeledah oleh penyidik Kejari Serang, Senin, 5 Agustus 2024.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita sejumlah dokumen yang dibutuhkan terkait penyidikan kasus dugaan korupsi sewa lahan area Stadion Maulana Yusuf, Kota Serang.
“Dalam penggeledahan kali ini jaksa penyidik telah mengamankan 16 jenis dokumen dan satu unit komputer pada kantor Disparpora Kota Serang, dan jenis dokumen pada rumah tersangka S (Sarnata),” kata Kasi Intelijen Kejari Serang, Muhammad Ichsan, Selasa, 6 Agustus 2024.
Ichsan mengungkapkan, seluruh barang bukti tersebut akan diperiksa lebih dalam dan dilakukan penyitaan guna membuat terangnya proses penanganan perkara.
“Bahwa penggeledahan yang dilakukan disaksikan oleh Sekdis beserta jajaran, Camat Curug, dan keluarga dari tersangka S (Sarnata),” ucapnya.
Kajari Serang, Lulus Mustofa menjelaskan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Disparpora Kota Serang, Sarnata, tersebut bermula pada tahun 2023.
Ketika itu, Sarnata menjalin kerja sama dengan pihak swasta untuk melakukan pengelolaan atau penyewaan aset Pemkot Serang di Stadion Maulana Yusuf.
Kerja sama itu dilakukan sebagaimana surat perjanjian bernomor 426/503/2023, tertanggal 16 Juni 2023.
“Yang bersangkutan ini, tersangka S (Sarnata), melakukan perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga terkait pengelolaan atau penyewaan aset Pemkot Serang di Stadion Maulana Yusuf,” katanya.
Kajari menyebut, perjanjian kerja sama tersebut tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Seharusnya, uang sewa yang ditarik pihak ketiga tersebut harus dibayarkan minimal dua hari sebelum penandatanganan kerja sama.
Akan tetapi, uang sewa senilai ratusan juta yang ditarik dari 59 pedagang itu nyatanya tidak masuk ke kas pemerintah.
“Kenyataannya sampai hari ini uang sewa ini tidak dibayar, tidak ada pemasukan ke RKUD (Rekening Kas Umum Daerah),” katanya.
Kajari mengatakan, Sarnata melakukan perjanjian yang tidak sesuai prosedur dengan pihak ketiga. Akibatnya, terdapat potensi kehilangan pendapatan daerah sebesar Rp 483.635.555.
“Dia (Sarnata) menandatangi perjanjian yang sebenarnya dia tidak berhak, tidak melalui prosedur sebagai kepala dinas dan dilakukan ilegal. Tidak ada pemasukan ke RKUD, sesuai perhitungan jasa pelayanan penilai publik itu Rp 483.635.555,” ujar pria asal Madiun, Jawa Timur ini.
Perbuatan Sarnata tersebut, diakui Kajari, telah menguntungkan pihak ketiga sebesar Rp 456,700 juta.
Potensi penerimaan atau keuntungan yang didapatkan pihak ketiga tersebut tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Sebab, saat ini pembangunan lapak pedagang tersebut saat ini masih berjalan.
“Jadi pamasukan ke RKUD itu sama sekali tidak ada. Lahan itu tetap dibangun bahkan terhitung bulan Juli kemarin, pihak ketiga sudah menerima pemasukan atau keuntungan. Masih didalami (potensi penerimaan pihak ketiga) karena pembangunan ruko atau lapak itu masih berjalan,” katanya.
“Kerugian negara sudah kami pegang tapi pastinya berjalannya waktu perhitungan kerugian negara akan kami pakai perhitungan pihak audit yang lebih kompeten,” sambung mantan Kajari Trenggalek ini.
Akibat perbuatannya, Sarnata oleh penyidik dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Pasal 2, Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 55 (UU Tipikor),” tuturnya. (*)
Editor: Agus Priwandono