TANGERANG,RADARBANTEN.CO.ID-Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang menilai informasi tentang ‘pemagaran laut sepanjang 30 km di Pantai Kabupaten Tangerang’ merupakan bentuk penyesatan bagi publik. Menurut mereka framing informasi itu berpotensi menimbulkan kegaduhan dan stabilitas sosial masyarakat.
“Mengapa informasi yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang laut tersebut justru bersumber dari masyarakat yang tidak melakukan aktifitasnya di laut? Tentunya hal ini sangat disayangkan serta tidak adanya informasi yang berimbang berkaitan dengan persoalan (pemagaran laut-red) yang sedang berkembang,” kata Shandy, mewakili JPR Kabupaten Tangerang dalam konferensi pers di salah satu rumah makan di kawasan Pantura, Kabupaten Tangerang, Jumat 10 Januari 2025.
Dia mengaku ingin meluruskan hal tersebut agar tidak menjadi informasi yang menyesatkan bagi publik. Jika tak diluruskan, dapat menimbulkan kegaduhan yang mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Menurutnya, narasi yang bermunculan saat ini disebutkan adanya pemagaran laut sepanjang 30 Km sangat mengganggu aktifitas nelayan dalam proses memanfaatkan hasil laut.
“Perlu kami luruskan dan jelaskan sebagai warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk berkehidupan yang layak dan sejahtera sekaligus menyatakan pendapat dan sikap atas situasi yang berkembang saat ini. Salah satunya berkaitan dengan adanya pemagaran laut yang sebenarnya diperuntukan sebagai tambak apung bersekat ataupun pembatas bidang-bidang untuk menangkal ombak yang mengakibatkan abrasi,” kata Shandy.
Menurutnya, dibangunnya cerucuk (pagar laut-red) tersebut secara tidak langsung sama seperti pembangunan bagan-bagan yang sejak dulu sudah banyak terdapat di seluruh wilayah pesisir utara Kabupaten Tangerang. Mulai Desa Tanjung Pasir sampai dengan Desa Muncung.
Menurutnya, adanya cerucuk ini berfungsi sebagai bagan yang dipergunakan nelayan sebagai alat budidaya kerang hijau, penangkap udang, cumi dan hasil laut lainnya, yang biasa dilakukan oleh nelayan pesisir.
“Kami melihat pembangunan bagan-bagan sederhana ini dilakukan oleh sebagian nelayan dan masyarakat sebagai bagian dari budaya tangkap nelayan yang berdomisili di wilayah setempat. Karena menurut analisa dan perhitungan dari kami, dengan adanya bagan-bagan tersebut sebagai langkah alternatif pencarian hasil laut. Bahkan dapat mengefisiensi operasional daripada nelayan tangkap, mengingat untuk bisa sampai ke wilayah tangkap ideal di jarak 3 mil laut ke atas memerlukan biaya yang cukup besar,” paparnya.
“Oleh karenanya kami mengimbau kepada semua pihak agar berhenti membangun narasi dan opini – opini yang berpotensi membuat kegaduhan dan mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Apalagi adanya pembangunan cerucuk dan tambak apung yang dibangun secara swadaya tersebut dikait – kaitkan dengan perusahaan besar yang saat ini menjadi pengembang Proyek Strategis Nasional (PSN),” pungkasnya. (*)
Reporter: Mulyadi
Editor: Agung S Pambudi