Kerja keras dan banting tulang memang sudah menjadi kewajiban suami sebagai kepala keluarga untuk menafkahi anak dan istri. Namun nasib malang kini diderita Jono (69), bukan nama sebenarnya. Pasalnya, setelah menghabiskan waktu muda untuk bekerja keras, kini ia harus menjalani hidup menderita dan tinggal di panti jompo.
Jono yang terlahir dari keluarga pas-pasan ini, memang sudah terbiasa bekerja keras sejak usianya baru menginjak masa remaja. Namun meski begitu, nasib baik ternyata belum berpihak padanya. Keadaan ekonomi yang serba pas-pasan ini rupanya berlanjut hingga ia hidup berkeluarga dengan istri dan anaknya.
“Kalau dibilang prihatin mah ya prihatin dengan nasib saya sendiri. Padahal masa hidup saya dihabiskan untuk bekerja. Tapi apa mau dikata, mungkin saya dinasibkan untuk hidup seperti ini,” kata Jono.
Dengan hanya bermodalkan ijazah sekolah dasar, terpaksa Jono pun harus bekerja serabutan untuk mencari penghasilan. Mulai dari menjadi kuli bangunan, sopir truk, tukang becak hingga menjadi pemulung pun pernah ia lakoni. “Tapi ya tetep. Nasib saya nggak ada berbuhanya sedikitpun. Masih saja kekurangan,” terangnya.
Dengan keadaan ekonomi yang tak kunjung membaik, akhirnya membuat Rani (35), bukan nama sebenarnya, anak pertama Jono ini, terpaksa harus angkat kaki dan mencari pekerjaan sendiri untuk penghidupan yang layak. “Sebagai ayah, saya merasa nggak berguna bagi keluarga sampai-sampai anak saya saja bisa bersikap kasar. Saya nggak bisa melarangnya untuk pergi, karena memang penghasilan saya yang kekurangan tidak bisa menyejahterakan keluarga,” tutur Jono dengan mata berkaca-kaca.
Jono yang memiliki empat anak yaitu Rani (35), Jaka (30), Trio (25), dan Nani (20), bukan nama sebenarnya, hanya bisa pasrah dengan kenyataan nasib yang tak seberuntung para koruptor di negeri ini. “Waduh Mas, kalau dibilang perih mah perih hati ini. Ayah mana sih yang mau melihat nasib keluarganya menderita,” tambahnya.
Dengan ekonomi yang tak kunjung membaik, perlahan anak-anak Jono mulai angkat kaki dari rumah dan mencari penghidupan yang layak sendiri. Setelah bertahun-tahun mengadu nasib sendiri, tidak disangka, kini anak-anaknya terbilang sukses dan hidup dengan serba berkecukupan.
Meski begitu, kesuksesan anak-anaknya tidak membuat perubahan ekonomi Jono yang kian hari memburuk. “Namanya manusia, semakin tahun ya semakin menua dan rapuh. Jadi serba susah, mau nyari makan untuk sendiri saja sudah sulit dengan fisik terbatas. Apalagi buat memperbaiki ekonomi?” keluhnya.
Setelah ditinggalkan anak-anaknya mengadu nasib, Jono juga harus menerima kenyataan saat Tuti (67), bukan nama sebenarnya, istri tercintanya harus tutup usia karena diabetes yang dideritanya selama belasan tahun. “Saat itu rasanya saya juga ingin cepat-cepat tutup usia. Karena sudah tidak sanggup bertahan hidup dengan kehidupan yang buruk,” terangnya.
Hidup sebatang kara harus dilalui Jono selama lima tahun. Fisiknya yang semakin rapuh seolah menambah penderitaannya. Jono yang mulai sakit-sakitan ini harus berjuang hidup sendiri terlunta-lunta. Mengingat rumah yang ia tinggali bersama sang istri hanya rumah sewaan. “Ya karena nggak sanggup bayar, terpaksa hidup nggak jelas tidur sana sini dipinggiran toko. Rasanya pedih,” tuturnya.
Setahun hidup di jalanan, Jono kemudian dimasukkan ke dalam balai panti jompo oleh salah satu temannya yang tak sengaja ia temui di jalan. “Ya Mas alhamdulillah, sejak saya tinggal di sana. Saya merasa beruntung karena hidup serba difasilitasi,” akunya.
Meski menjalani hidup di tempat yang layak, ternyata tidak menghilangkan kepedihan hati yang ia rasakan. Ia seolah tidak lagi dianggap ayah oleh anak-anaknya yang kini sudah sukses. “Mau marah juga percuma. Semua anak-anak saya beralasan sibuk mengurusi kehidupan keluarganya masing-masing. Jangankan menjenguk, memberi kabar saja tidak pernah,” lirihnya.
Sakit hati memang, anak yang dibesarkan dengan keringat kerja kerasnya justru mengacuhkan keadaan bapaknya yang hidup sebatang kara di panti jompo. “Kalau dipikirkan ya menambah beban. Awalnya sih saya nggak terima. Tapi ya mau gimana lagi, ya sudahlah mungkin harusnya seperti ini,” pasrahnya.
Untuk menghilangkan sakit hati, Jono yang tinggal di panti jompo ini menghibur dirinya dengan mengikuti kegiatan yang ada di panti. Merasa dibuang tak diacuhkan oleh anak-anaknya kini tidak jadi persoalan lagi. Waktu luangnya yang ada diisi dengan keisengannya membuat bangku dan menanam sayuran. “Ya saya sadar diri karena sudah tua begini, nggak mau terus-terusan nyusahin orang. Daripada terus-terusan sedih, sekarang waktu saya habiskan buat ibadah saja,” pungkasnya. (Wivy-Zetizen/Radar Banten)