SERANG – Mengaji merupakan identitas orang Banten. Namun, seiring perkembangan zaman, identitas itu telah memudar. Demikian diungkapkan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Bambang Qomaruzzaman saat menjadi pemateri pada acara Sosialisasi Literasi Membaca Alquran, di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (DPKD) Provinsi Banten, Pakupatan, Kota Serang, Jumat (16/11).
Pria yang akrab disapa Bambang itu menjelaskan, Banten dahulu adalah peradaban mengaji Alquran. Ini terlihat dari banyaknya tempat, seperti di Pontang dan sekitarnya. “Dulu mulai asar orang Banten mengaji hingga magrib. Sekarang sudah tidak ada. Kawin saja syahadatnya harus benar. Sekarang tidak ada lagi,” ujarnya.
Banten masa lalu menurut Bambang, adalah bentangan daerah dengan peradaban Alquran, peradaban santri. Hal ini juga dipaparkan oleh Achmad Djajadiningrat, tentang kaum santri di abad 19. Semua santri yang telah pandai membaca dan mengartikan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab akan tidak puas dengan itu-itu saja. “Banyaknya teks-teks pesantren yang berasal dari Banten, di antaranya Syeikh Nawawi Al-Bantani,” terangnya.
Bambang mengungkapkan, inti sejarah Banten adalah mengaji. Pada salah satu bait sejarah Banten tertulis karakter penghormatan akan ilmu. Mengaji dan mencintai peradaban Banten. “Banten pernah menjadi peradaban itu,” katanya.
Alasan hilangnya identitas itu, kata dia, disebabkan oleh orientasi material sudah tinggi, dan pendidikan sekarang tidak mengarah ke sana sehingga kulturnya hilang. “Identitas yang pernah melekat itu mengaji. Banten identik dengan bisa mengaji. Sehingga itu penting dipertahankan,” terangnya.
Untuk itu, Bambang mengatakan, penting rekulturisasi atau menanamkan kembali identitas itu, dengan cara-cara yang mampu mendekatkan masyarakat dan generasi muda dengan membaca Alquran. “Pemerintah harus serius. Akhlakul karimah itu prilaku yang baik. Misalnya pemerintah mewajibkan sekolah menerapkan mengaji sebelum belajar. Termasuk menjadi persyaratan kelulusan,” katanya.
Pembicara lain, Ketua Harian Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Provinsi Banten Prof Syibli Syarjaya mengajak generasi muda untuk gelorakan magrib mengaji dan menyempatkan lima menit membaca Alquran setelah salat lima waktu.
Kata Sybili, LPTQ Banten pada Juni 2017 melakukan survei kemampuan baca Alquran, dengan 1.505 responden dari total penduduk muslim Banten 10.891.952 jiwa yang tersebar di 155 desa kelurahan, 50 kecamatan, dan 8 kabupaten kota. “Hasilnya survei menunjukkan yang bisa membaca Alquran 87,6 persen dan yang tidak bisa sangat mengejutkan diangka 12,4 persen,” katanya.
Pria yang akrab disapa Syibli itu mengatakan, menurut Martin Van Brainessen, masyarakat Banten terkenal sangat agamais dan religius dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Hal ini ditandai dengan kentalnya pengaruh Islam pada masyarakat Banten. “Sungguh ironis bagi sebuah daerah yang mengaku religius dan agamais, sejuta santri, seribu ulama dan seribu pesantren,” katanya.
Melihat masih rendahnya tingkat melek huruf Alquran, Syibli mengajak kepada masyarakat Banten untuk menggalakkan gerakan magrib mengaji. Atau diupayakan tiap sehabis salat lima waktu membaca Alquran selama lima menit.
Sementara itu, Kepala Seksi Pembudayaan Kegemaran Membaca Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (DPKD) Epi Saepudin mengatakan kegiatan tersebut dilakukan untuk memberikan kesadaran kembali, peradaban Banten banyak dipengaruhi nilai-nilai Alquran. “Dulu orang mengaji itu otomatis sudah menjadi kebiasaan rutin. Sekarang kalah bersaing sama gadget. Diharapkan generasi muda kembali membudayakan membaca Alquran,” pungkasnya. (Fauzan D/RBG)