Oleh: Ade Zaenudin
Kebijakan untuk tidak melakukan pembelajaran di sekolah sebagai dampak pandemi covid-19 pada tahun pelajaran 2020/2021 begitu menggemaskan bagi sebagian masyarakat. “Unjuk rasa” melalui media sosial agar sekolah dibuka begitu masif seiring dibukanya sektor lain seperti mall dan tempat wisata. Pemerintah tetap bergeming.
Alasan melindungi anak-anak dari terpaparnya covid-19 tentu sangat logis, namun beratnya orang tua memikul peran ganda sebagai “guru semua mata pelajaran” sekaligus “donatur kuota internet” menyebabkan banyak orang tua merasa resah.
Lalu, mengapa pemerintah bergeming? Apa tidak peka dengan kondisi orang tua?
Kesepakatan John Holt dan Pak Nadiem
John Holt adalah seorang tokoh pendidikan yang menggugat sistem pendidikan konvensional, menurutnya sekolah menjadikan siswa seperti karyawan yang harus patuh pada atasan, penyeragaman dirasa sangat mengerdilkan dan mematikan kekhasan serta potensi individual.
Oleh sebab itu dia mengkampanyekan konsep unschooling (tidak menyekolahkan anak-anak) dan menggantinya dengan konsep homeschooling (belajar di rumah) sebagai bentuk kemerdekaan belajar. Kampanye tersebut tertuang dalam jurnalnya Growing Without Schooling.
Mari kita amati beberapa penggalan pidato yang cukup menggemparkan dari Pak Nadiem Anwar Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam momentum Hari Guru Nasional 2019.
“Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi Kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan”
“Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi”
“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia”.
Minimal ada dua kesepakatan antara John Holt dengan Pak Mendikbud, yang pertama kritik terhadap eksistensi sekolah formal (walaupun Pak Nadiem hanya mengkritisi soal kurikulumnya saja), dan yang kedua ketidaksetujuan terhadap penyeragaman potensi siswa sehingga harus dimerdekakan.
Dua kesepakatan itu sangat mendasar dan menjadi modal munculnya revolusi pendidikan.
Revolusi Pendidikan
Kembali ke pertanyaan di paragraf ketiga di atas, mengapa pemerintah bergeming? Apa tidak peka dengan kondisi orang tua?
Kita bisa katakan bahwa mustahil pemerintah tidak peka dengan keresahan orang tua, sejumlah kebijakan ditetapkan dalam rangka mendorong pembelajaran jarak jauh. Teknologi menjadi barang vital yang menjembataninya.
Sebelum masa pandemi covid-19, mayoritas pembelajaran dilakukan secara reguler di kelas, pembelajaran jarak jauh digunakan secara terbatas, teknologi dimanfaatkan ala kadarnya saja.
UNICEF yang dikutip Wikipedia mencatat bahwa per 27 Juli 2020 sebanyak 106 negara menutup sekolah secara nasional, 55 negara menutup secara lokal, ada sekitar 1,725 milyar siswa terdampak dirumahkan. Skema belajar berubah total, Pendidikan Jarak jauh yang berbasis teknologi diberlakukan termasuk di Indonesia.
Efek dahsyat lainya adalah guru tidak lagi memegang kapur tulis atau white board tapi menjadikan telepon pintar berpulsa sebagai sarana. Siswa tidak mesti duduk kaku menerima pelajaran, bahkan bisa sambil rebahan atau jalan-jalan. Sejumlah kreatifitas IT guru dipertaruhkan untuk menyampaikan materi pembelajaran. Ruang belajar menjadi tak bersekat dinding dan atap, sejumlah aturan norma kaku di kelas menjadi bias, dan masih banyak lagi.
Sejumlah perubahan mendasar tersebut memaksa guru untuk beralih dari dunia nyata ke dunia maya, teknologi menjadi tumpuan bahkan kebutuhan primer, inilah yang dimaksud dengan “Revolusi Pendidikan”
Maka pantaslah pemerintah bergeming, bukan karena tidak peka dengan kondisi orang tua, tapi boleh jadi ada satu misi besar merubah tatanan baru dunia pendidikan menuju meleknya teknologi informasi yang mencerahkan.
Selamat datang Revolusi Pendidikan…
Wallohu a’lam
Ade Zaenudin
Guru Madrasah, Sekretaris MGMP MTs Provinsi Banten