SERANG – Para pedagang di Banten secara tegas menolak pelarangan minyak goreng curah yang digaungkan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Mereka menilai kebijakan tersebut berimbas buruk terhadap nasib pedagang kecil.
Agen minyak goreng Maftuhi menolak kebijakan tersebut. Ia menilai, pelarangan penggunaan minyak goreng curah memberatkan masyarakat kecil. “Saya sebagai pedagang menolak karena itu memberatkan masyarakat kecil,” katanya saat ditemui Radar Banten di kiosnya di kawasan Pasar Induk Rau, Kota Serang, Selasa (8/10).
Pemilik Kios PD Sumber Rejeki itu menilai, daya beli masyarakat belum cukup mampu untuk membeli minyak goreng kemasan. “Masyarakat kecil bisa sangat keberatan, apalagi di sini daya belinya masih di bawah,” ujar Maftuhi.
Maftuhi melayani pembelian minyak goreng curah dan juga minyak goreng kemasan. Hanya saja, pembelian minyak goreng curah lebih tinggi. “Kalau kemasan sehari hanya 100 dus yang ukuran per liter. Kalau curah bisa tiga ton per hari,” ungkapnya.
Ia menilai, banyaknya masyarakat yang memilih minyak curah lantaran harganya lebih murah. Untuk minyak goreng curah, per liter dijual Rp8 ribu. Sedangkan minyak goreng kemasan yang kelas bawah dijual Rp11 ribu per liter.
Meski secara keuntungan lebih besar minyak kemasan, Maftuhi menolak pelarangan dengan pertimbangan permintaan masyarakat. “Kalau saya melihat apa yang dicari masyarakat kayak tukang gorengan, warung, dan tukang kerupuk kan pakainya minyak curah,” ujarnya.
Penolakan yang sama disampaikan pedagang eceran dari Pasar Malingping, Pandeglang, yang sedang berbelanja minyak goreng curah di Pasar Induk Rau. “Enggak setuju saya, kasihan sama orang yang enggak punya,” kata perempuan yang mengaku bernama Nia itu.
Kata dia, minyak goreng kemasan lebih mahal daripada minyak curah. “Baiknya mah biarkan masyarakat yang pilih sendiri. Kalau yang mampu mah silakan pakai kemasan, yang enggak mampu biarkan pakai curah,” cetusnya.
Nia mengaku, per seminggu membeli delapan jeriken ukuran 25 liter. Dalam sehari dia mampu menjual satu hingga satu setengah jeriken.
Agen minyak lain di Kawasan Pasar Induk Rau, Ai Undayah mengatakan, larangan penggunaan minyak curah pernah ramai diwacanakan pada 2013 silam. Namun, kebijakan tersebut batal dilaksanakan. Dia sendiri akan ikut kebijakan pemerintah.
“Kita sebagai penjual mah ikut saja, kan minyak kemasan tidak ada susutnya, beda sama ini (curah-red),” katanya sembari melayani pelanggan.
Kendati demikian, ucap Ai, penjualan minyak curah jauh lebih banyak daripada minyak goreng kemasan. Dalam sehari, dia bisa menjual lima ton minyak curah. Sedangkan minyak kemasan hanya 100 sampai 200 dus.
Ia menjual minyak goreng curah dengan harga Rp8.500 per kilogram. Sedangkan minyak goreng kemasan dijual Rp9.500 sampai Rp11 ribu sesuai dengan merek.
“Minyak goreng curah itu ada susutnya, yang 17 ton itu bisa susut 80 sampai 150 kilogram dan kualitas lebih bagus kemasan. Tapi, pembeli kan cari yang murah,” ujar Ai.
Hal serupa disampaikan agen dan pelaku usaha kecil di Kabupaten Lebak. Mereka juga menentang larangan edar minyak curah. Agen minyak curah di Lebak Tusnurohmat menolak rencana pemerintah yang melarang peredaran minyak curah di pasaran.
“Saya enggak mengerti dengan kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan larangan peredaran minyak curah. Padahal, sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah menggunakan minyak curah,” katanya.
Begitu pun sejumlah pedagang di Kota Cilegon ikut merasa keberatan. Torik, penjual batagor, mengatakan, perbedaannya Rp1.000 setiap liter minyak goreng curah dengan kemasan. “Buat pedagang kecil mah uang segitu lumayan, apalagi kan kita pakainya enggak seliter doang sehari,” tuturnya.
Di Kabupaten Serang, pedagang juga menolak pelarangan minyak curah. Seperti yang dikatakan salah satu pedagang di Pasar Petir, Andri Raspati, yang menolak larangan penjualan minyak curah. Meski belum mengetahui kabar pelarangan penjualan minyak curah, pedagang sembako itu tegas menolak.
“Belum tahu sih, tapi kan kalau dilarang, nanti bakal bikin susah warga yang biasa pakai minyak curah,” katanya.
Pedagang lainnya, Yenita menambahkan, selama ini pembeli banyak yang memilih minyak curah karena harganya lebih murah dan isinya juga lebih banyak ketimbang minyak kemasan. “Kalaupun dilarang, ya harus ada alasan yang jelas. Jangan bikin warga susah,” katanya.
Senada disampaikan pedagang pecel lele di Kelurahan Taktakan, Kota Serang, Rizwan mengaku, keberatan dengan larangan penjualan minyak curah. Soalnya, kata Rizwan, selama dua tahun lebih berjualan, bahan dasarnya minyak curah untuk menggoreng ikan. “Waduh, kalau mesti pakai minyak kemasan, modal dagang jadi nambah,” katanya.
Tidak hanya penolakan dari sejumlah pedagang, larangan penggunaan minyak curah direspons negatif pedagang gorengan. Mereka bahkan mengancam akan menaikkan harga jualannya.
Pedagang gorengan yang mengaku bernama Firman keberatan akan larangan penjualan minyak curah. “Kalau dilarang berarti saya harus pindah pakai minyak goreng kemasan dan itu harganya lebih mahal,” katanya ditemui di tempat mangkalnya di daerah Trondol, Kaligandu, Kota Serang.
Firman mengancam akan ikut menaikkan harga jualan gorengannya jika pemerintah tetap melarang penggunaan minyak curah. “Ya pasti kita naikkan, kalau enggak begitu bisa tekor,” katanya.
Di Jakarta, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan tidak jadi melarang peredaran minyak curah. “Tidak ditarik. Jadi, per 1 Januari 2020 harus ada minyak goreng kemasan di setiap warung, juga di pelosok desa,” katanya.
Sebelumnya, ia menyatakan pemerintah akan melarang peredaran minyak goreng curah di pasar masyarakat mulai 1 Januari 2020. Sebagai gantinya, minyak curah wajib menggunakan kemasan. (ken-tur-dib-bam-mg06/cnnindonesia/alt/ira)