Serang – Keberadaan seni sebagai ekspresi manusia seperti sekeping mata uang yang punya dua sisi berbeda namun tak terpisahkan. Ekspresi seni setidaknya sudah muncul lebih awal dalam bentuk-bentuk yang sederhana seperti gambar tangan pada dinding-dinding goa nenek moyang kita. Pada tahap selanjutnya ekspresi seni terus berkembang semakin canggih dan kadang-kadang tidak lagi mudah untuk dinikmati dengan hanya selayang pandang.
Pergeseran tiap genarasi menjadikan seni mengalami perubahan-perubahan yang tidak sedikit. Mulai dari lukisan, teater, fotografi, patung, dan sebagainya menandari bagaimana setiap genarasi memiliki ciri khas yang diusung dengan gagasan yang sarat semangat perubahan bahkan pemberontakan estetika.
“Pada tahun 1990-an hingga memasuki tahun 2000, ruang pemberontakan maupun percepatan dalam eksperimen seni kian menyusut seiring dengan melemahnya ideologi seni. Generasi baru ini kehilangan alasan untuk memberontak karena masih lekatnya pengaruh kekuasaan terhadap ekspresi seni yang perlu diselidiki lebih dalam,” ujar pembicara dalam seminar bengkel menulis sastra (Belistra) bertema Eksistensi manusia Indonesia pada Estetika Seni Kontemporer, Aminudin TH Siregar di Auditorium Untirta, Gedung B lantai 3, Senin (8/12/2014).
Pembicara yang akrab disapa Ucok ini menjelaskan bagaimana perkembangan seni berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh pasar yang menentukan layak tidaknya kesenian dari sisi bisnis dan marketing. “Sejarah telah membuktikan bahwa usaha-usaha tersebut segera membuat seni tergelincir ke jebakan pasar dan oleh karenanya sia-sia,” tegasnya.
Seni pada hari ini, lanjut Ucok, mesti kembali pada spirit penciptaan sebelumnya yakni daya kreasi dan ekspresi manusia sebagai persentuhan dari buah kehidupan yang wajar. “Barang kali ke depan kita semakin membiasakan diri menerima kehadiran pasar, asalkan saja pasar mengisi ruangnya secara proporsional,” pungkas dia. (Wahyudin)