SERANG – Rencana pemerintah pusat melakukan impor beras dengan dalih kelangkaan stok beras dinilai dapat merugikan petani. Terlebih, kebijakan dilakukan bersamaan dengan tibanya musim panen.
Pemerhati pertanian Banten Angga Hemanda mempertanyakan kebijakan impor beras. Apalagi jika mengacu angka ramalan II Kementerian Pertanian 2017 yang mengklaim mampu memproduksi 81 juta ton gabah dengan kontrisbusi Banten sebesar 2,4 juta ton. “Jika rendemen (konversi gabah ke beras-red) sebesar 50 persen saja maka beras yang ada di Indonesia sebanyak 40,5 juta ton dan khusus Banten sebesar 1,2 juta ton,” katanya kepada Radar Banten, Selasa (16/1).
Kata dia, Bulog menyebut rata-rata konsumsi beras secara nasional masyarakat Indonesia per bulan sebanyak dua juta ton. Dengan hitungan tersebut maka dalam satu tahun dibutuhkan paling tidak 24 juta ton beras. “Angka demikian seharusnya kita surplus beras 40,5 juta ton, dikurangi 24 juta ton yakni 16,5 juta ton. Lalu mengapa harga naik? Stok Bulog terbatas? Petani pangan tidak sejahtera, dan impor beras?” cetusnya.
Pengurus Serikat Petani Indonesia (SPI) Pusat ini mengatakan, kenaikan harga beras dipicu beberapa faktor. Utamanya kekurangan stok beras di pasar atau karena adanya penimbunan yang dilakukan spekulan. “Apa pun faktornya, dengan surplus 16,5 juta ton, data Kementerian Pertanian patut ditinjau kebenarannya. Di tengah harga beras naik, logikanya harga di petani juga demikian. Tetapi di beberapa daerah tidak, di Banten seperti Pandeglang, Lebak, dan Kabupaten Serang justru tidak merasakan kenaikan,” katanya.
Kata dia, medio Februari-April adalah periode panen raya padi. Maka tidak tepat melakukan impor beras karena akan memberatkan para petani. “Kenaikan harga beras seharusnya diatasi melalui stok beras di gudang Bulog yang 900 ribu ton itu sambil menunggu panen raya di petani. Karena jika impor beras terjadi, disinyalir kuat harga gabah petani pasti jatuh,” ujarnya.
Kata dia, Bulog semestinya memperkuat persediaan dengan mendesak pemerintah pusat merevisi harga pembelian pemerintah (HPP). Bulog tidak lagi mampu menyerap gabah dan beras petani untuk menstabilkan harga karena HPP melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2015 sudah usang dan tidak relevan lagi, sedangkan di lapangan kalah jauh dengan tengkulak yang membeli langsung gabah padi ke petani. “Jadi HPP harus ditingkatkan,” katanya.
Akademisi Banten Didi Wandi juga menyayangkan kebijakan impor beras. Kata dia, puncak harga beras yang mencapai di atas Rp11.000 per kilogram pada Januari 2018 karena fenomena harga pada Oktober 2017 yang sudah mencapai Rp9.500 per kilogram. “Harga beras di atas Rp11.000 per kilogram ini sudah masuk kategori tidak wajar. Kenaikannya gila-gilaan,” katanya.
Menurutnya, fenomena itu semestinya ditangkap Bulog dengan mengambil peran untuk menstabilkan sejak awal. Bulog harus benar-benar menjabarkan peran dan fungsinya sebagai stabilisator harga pangan. “Bulog harus gesit, tidak boleh bekerja seperti pemadam kebakaran, rakyat sudah teriak baru bertindak,” kata Ketua Bidang Akademik STIE Banten ini.
Sebagai badan yang bertugas menstabilkan harga, lanjut Didi, jangan bekerja setelah kenaikan harga pangan yang mencekik konsumen. Ada gejala bakal naik, langsung respek dengan operasi pasar dan jangan sampai ada peluang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab bermain. “Sekarang kan beda, sudah benar-benar naik baru distabilkan. Artinya, rakyat sudah tercekik baru diobati. Mestinya pencegahan, bukan pengobatan,” ujarnya.
“Kalau pun harus terjadi impor sangat disayangkan pada awal bulan Februari yang masuk musim panen. Terlebih, ketersediaan beras dalam negeri sering diklaim cukup, dan ini juga akan mematikan petani-petani lokal,” sambung Pengurus Ikatan Senat Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini.
Di bagian lain, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) mengatakan, salah satu penyebab mahalnya harga beras dikarenakan adanya intervensi tengkulak. Ia menilai, para tengkulak yang berasal dari luar Banten sudah jauh-jauh hari memesan gabah petani. “Jadi mereka memberikan biaya produksi, dari mulai sediakan bibitnya, sampai panennya ditongkrongin. Terus dibawa ke Karawang (gabah) diolah jadi beras, dan dijual lagi ke Banten dengan harga mahal,” katanya usai menghadiri rapat paripurna di DPRD Banten.
Oleh karena itu, pria yang akrab disapa WH ini mengungkapkan bahwa Pemprov berencana membentuk BUMD di bidang agrobisnis. Langkah itu dilakukan agar dapat menyerap gabah dari petani. (Supriyono/RBG)