SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Direktur Utama (Dirut) PT Serena Cipta (SC) Victor H Makelew dituntut pidana penjara selama 11,5 tahun oleh JPU Kejari Tangerang Selatan (Tangsel).
Victor dinilai JPU telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan 90 unit mobil pintar atau mobile smart tansportation di cucu perusahaan PT Telkom, PT Sigma Cipta Caraka (SCC) tahun 2017.
Perbuatan Victor tersebut menurut JPU telah menyebabkan kerugian negara Rp 20 miliar lebih. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Victor H Makelew berupa pidana penjara 11 tahun dan enam bulan,” ujar JPU Kejari Tangsel, Satrio Aji Wibowo saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Serang, Jumat 5 Januari 2024.
Victor juga dituntut membayar denda Rp 500 juta sub sider tiga bulan kurungan dan uang pengganti Rp 17 miliar. Jika yang pengganti tersebut tidak dibayar maka harta bendanya disita oleh jaksa untuk dilelang untuk menutupi kerugian negara tersebut.
“Apabila harta bendanya tidak mencukupi maka diganti dengan pidana penjara lima tahun dan enam bulan,” ujar Satrio dihadapan majelis hakim yang diketuai Dedy Adi Saputra.
Satrio menjelaskan, tuntutan pidana terhadap terdakwa tersebut didasarkan pertimbangan memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi.
Selain itu, perbuatan terdakwa juga telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 20 miliar lebih. “Hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan,” katanya.
Menurut JPU, perbuatan terdakwa bersama mantan Vice President Sales PT SCC Binsar Pardede telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. “Sebagaimana dalam dakwaan primer,” kata Satrio.
Sementara, terdakwa lain yakni Binsar Pardede dituntut lebih ringan oleh JPU. Binsar dituntut pidana selama lima tahun, denda Rp 500 juta sub sider tiga bulan dan uang pengganti atau kerugian negara Rp 903 juta.
Jika uang pengganti itu tidak dibayar maka jaksa akan melakukan penyitaan aset milik terdakwa Binsar. “Apabila tidak mencukupi maka diganti dengan pidana dua tahun penjara,” ungkap Satrio.
Tuntutan ringan terhadap Binsar tersebut dikarenakan sudah ada pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp 500 juta. Pengembalian kerugian negara itu diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti. “Menyatakan uang Rp 500 juta diperhitungkan sebagai pengurangan uang pengganti,” ujarnya.
Dijelaskan Satrio dalam surat tuntutannya, kedua terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum, dalam pengadaan perangkat Smart Transportasion antara PT SCC dan PT Telkom Aditama Prima. Nilai pekerjaan fixed tersebut mencapai Rp16,1 miliar.
Jumlah itu belum termasuk PPN 10 persen, dengan scope of work Grand Xenia R MT std sebanyak 50 unit, Sigra R MT sebanyak 40 unit, handphone Lenovo atau Huawei sebanyak 90 unit dan Laptop Lenovo sebanyak 90 unit.
“Terdakwa Victor H Makelew bersama dengan terdakwa Binsar Pardede telah merugikan kerugian keuangan negara PT SCC selaku cucu PT Telkom,” kata Satrio.
Satrio mengungkapkan, kasus tersebut bermula pada Maret 2017 lalu. Ketika itu terdakwa Victor H Makelew melakukan komunikasi dengan Mangapul Pangaribuan tentang adanya pekerjaan maintenance BTS membutuhkan peralatan yang akan dikerjakan oleh PT Serena Cipta.
“Saksi Mangapul Pangaribuan kemudian menanyakan syarat-syarat dan legalitas, proyeknya dapat dari mana dan lain sebagainya,” katanya.
Untuk memudahkan proyek tersebut, Mangapul kata Satrio membuat grup WhatsApp, dengan beranggotakan kedua terdakwa, Ari Rahman (tim), Dedy Manager Solution PT Telkom, Galuh, Arif (Tim Solution PT Telkom), Rupmayadi Senior Account PT Telkom, Kunce Nasution Manager DBS, Mahmudin Asman Biding, Fadli Tim PT SCC.
“Dalam grup didiskusikan mengenai legalitas dokumen, ruang lingkup, pemberi pekerjaan, model bisnis, anak perusahaan yang memiliki kapasitas,” ungkapnya.
Satrio menerangkan, dalam pembicaraan di grup itu diketahui dokumen yang diberikan Victor H Makelew yaitu dokumen PT Telkom Aditama Prima (PT TAP). Kemudian, saksi Mangapul meminta Purchase order (PO) kepada Victor H Makalew terkait PO yang dia terima atas pekerjaan maintenance BTS tersebut.
“Tetapi dokumen PO tersebut tidak pernah diserahkan oleh terdakwa Victor H Makelew, dan justru mengirimkan dokumen yang berbeda, yaitu Master Purchase Agreement antara PT. Huawei Tech Invesment dan PT Huawei Services dengan PT Serena Cipta,” ujar Satrio.
Satrio menyatakan pada akhirnya, proyek tersebut akhirnya gagal dilaksakan, karena dianggap tidak memenuhi aspek legalitas dan assessment, dan grup WhatsApp tersebut dibubarkan.
“Walaupun saksi Binsar Pardede mengetahui proyek PT TAP telah dicancel karena dianggap tidak memenuhi syarat oleh tim, Mangapul Pangaribuan sebagai perwakilan dari PT Telkom tetap menginisiasi Proyek PT TAP tersebut bersama dengan terdakwa Victor H Makelew dan disepakati solusi berupa Project Smart Transportation SC,” kata Setrio.
Satrio mengatakan, terkait dengan pekerjaan Smart Transportation SC tersebut terdakwa Binsar Pardede meminta terdakwa Victor H Makelew untuk mencari perusahaan mitra, sebagai pelaksana. Perusahaan mitra itu nantinya, bisa dikontrol oleh terdakwa Victor H Makelew.
“Terdakwa Victor H Makelew memiliki perusahaan lain yang bisa menjadi mitra yaitu PT Telkom Aditama Prima yang direkturnya adalah adik kandung terdakwa Victor H Makelew bernama Lukas Makalew, dan pada waktu itu Binsar setuju,” ungkap Satrio.
Satrio menambahkan, dalam proyek tersebut, terdakwa Victor H Makelew memberikan fee lima persen dari anggaran setelah pencairan untuk terdakwa Binsar Pardede. Pemberian fee tersebut dianggap sebagai kesepakatan antara kedua terdakwa.
“Selanjutnya dibuatkan perjanjian penyediaan Layanan Cloud System Unit dan Smart Vehicle antara PT SC dengan PT SCC pada tanggal 24 Mei 2017 yang ditandatangani oleh saksi Judi Achmadi selaku Direktur Utama PT SCC dan terdakwa Victor H Makelew dengan harga total Fixed Price sebesar Rp19,2 miliar belum termasuk PPN 10 persen,” tutur Satrio.
Setelah adanya perjanjian tersebut, namun nyatanya tidak ada barangnya dari proyek tersebut. Hal itu dikarenakan PT TAP tidak pernah melakukan pemesanan/PO barang dan sama sekali tidak pernah dilakukan uji terima dan serah terima barang/pekerjaan.
Meski tidak ada fisik barang tersebut, namun terdapat dokumen-dokumen yang digunakan untuk pencairan uang dari PT SCC kepada PT TAP.
Usai pembacaan surat tuntutan tersebut, terdakwa kedua terdakwa akan mengajukan pembelaan dalam sidang yang digelar pada pekan depan. (*)
Reporter: Fahmi
Editor: Abdul Rozak