SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Tangerang Selatan (Tangsel) mengajukan banding atas vonis ringan terhadap tiga terdakwa kasus korupsi di Bank Banten senilai Rp 1,065 miliar.
Sikap banding tersebut disampaikan JPU ke Pengadilan Tipikor Serang. “Iya kami banding,” ujar Kasi Intelijen Kejari Tangsel, Hasbullah, belum lama ini.
Rabu 23 Oktober 2024 lalu, tiga terdakwa dalam kasus tersebut divonis berbeda. Mantan Manajer Bisnis Komersial Bank Banten cabang Tangsel Satrio Dwiono Lutfi Handrajati dan Manajer Bisnis Komersial Bank Banten cabang Tangsel, Rully Andriadi divonis masing-masing 20 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan.
Sementara terdakwa lainnya yakni Miftahul Rizki divonis pidana 3 tahun penjara. Direktur CV Mega Larsindo Utama itu juga dihukum pidana tambahan berupa denda sebesar Rp100 juta subsider 2 bulan dan uang pengganti sebesar Rp476 juta subsider dua tahun.
Vonis tersebut, lebih ringan dari tuntutan JPU. Sebelumnya, Satrio dan Rully dituntut 6,5 tahun penjara, denda masing-masing Rp250 juta empat bulan kurungan. Sedangkan, Miftahul dituntut 7 tahun penjara, uang pengganti Rp776 juta subsider 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan penjara.
Adapun pertimbangan majelis hakim menjatuhkan hukuman lebih ringan terhadap ketiga terdakwa tersebut karena mereka tidak mendukung upaya pemerintah memberantas korupsi dan merusak citra Bank Banten. Pertimbangan itu menjadi hal yang memberatkan pada diri ketiga terdakwa.
Sementara hal yang meringankan, ketiga terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan menyesali perbuatannya. “Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga,” ujar Ketua Majelis Hakim Mochamad Arief Adikusumo.
Dalam putusannya tersebut, majelis hakim juga tidak sependapat dengan tuntutan JPU terkait dengan dakwaan yang dianggap terbukti. Menurut majelis hakim, ketiga terdakwa terbukti bersalah sebagaimana dalam dakwaan subsider. Sedangkan, JPU beranggapan dengan dakwaan primer.
“Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor,” kata Arief.
Dalam dakwaan JPU, kasus korupsi ini bermula pada tahun 2018 lalu. Ketika itu, CV Mega Larsindo Utama menjadi pemenang tender pembangunan Masjid Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Ketenegakerjaan RI dengan nilai kontak Rp1,065 miliar.
“Dalam kontrak disebutkan bahwa mengenai pembayaran, Kementerian akan membayarkan melalui Bank BJB sebanyak tiga tahap,” kata JPU Satrio.
Tahap pertama yakni pembayaran uang muka sebesar Rp213 juta. Kemudian, termin pertama sebesar Rp340 juta dan termin kedua sebesar Rp511 juta. Pembangunan Masjid itu direncanakan selesai dalam 12 hari kerja atau selesai pada 14 Juni 2018.
“Saat progres pembangunan mencapai 20 persen pada 14 Maret 2018, terdakwa Miftahul membantu pemilik CV Mega Larasindo, Ariyanto (masih dalam pencarian) melakukan permohonan fasilitas KMKK sebesar Rp1 miliar kepada Bank Banten,” katanya.
Menurut JPU, pengajuan KMKK itu tidak bisa diproses. Akan tetapi, Rully dan Satrio tetap memprosesnya. “Rully Andiriadi bersama-sama dengan Satrio Dwiono Lutfi Handrajati secara melawan hukum tetap memproses dan melakukan pemberian KMKK kepada terdakwa selaku Direktur CV Mega Larasindo Utama,” ungkapnya.
Satrio mengatakan, dalam prosesnya, terdakwa Satrio dan Rully tidak pernah memastikan penyaluran tagihan termin proyek tersebut dari Kementerian kepada CV Mega Larsindo. Padahal, hal tersebut menyalahi SOP dan dapat berpengaruh kepada Bank Banten yang tidak bisa melakukan auto debit.
“Pada tanggal 9 Mei 2018 komite kredit yang terdiri dari saksi Lekso, terdakwa Satrio dan Rully kemudian memberikan persetujuan KMKK dengan plafon sebesar Rp550 juta dengan jangka waktu perjanjian kredit selama 5 bulan,” ungkapnya.
Kemudian sambung Satrio dilakukan penandatanganan perjanjian kredit sampai dengan penarikan kredit. “Terdapat persyaratan penandatanganan kredit dan persyaratan penarikan kredit yang tidak dipenuhi oleh CV Mega Larsindo Utama selaku debitur,” katanya.
Pada tanggal 14 Mei 2018 dilakukan pencairan tahap pertama sebesar Rp328,5 juta dan tahap kedua pada 28 Mei 2018 sebesar Rp167 juta. JPU menanggap seharusnya dana tersebut tidak dicairkan karena terdapat dokumen persyaratan yang tidak lengkap. “Terdapat beberapa persyaratan tidak terpenuhi,” ujarnya.
Satrio mengatakan, pada 21 September 2018, proyek pembangunan masjid tersebut rampung dan Kementerian Ketenagakerjaan RI membayarkan nilai kontrak tersebut seluruhnya kepada CV Mega Larsindo melalui Bank Bjb.
Uang pencairan tersebut kemudian tidak dibayarkan kepada Bank Banten dan malahan uang sebesar kurang Rp600 juta diserahkan terdakwa Miftahul kepada Ariyanto. Sedangkan sisanya Rp200 juta dipergunakan untuk membayar material dan tukang serta gaji dirinya.
“Sehingga baik terdakwa dan saudara Ariyanto tidak melakukan pembayaran KMKK kepada Bank Pembangunan Daerah Banten,” ujarnya.
Akibat persoalan tersebut, KMKK CV Mega Larasindo dinyatakan macet dengan kolektabilitas 5. Total kewajiban yang harus dibayar dan jadi kerugian negara yaitu Rp776 juta. “Dengan rincian tunggakan pokok Rp546 juta, tunggakan bunga Rp164 juta, dan tunggakan denda Rp65,7 juta,” tuturnya.
Editor: Abdul Rozak