SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Provinsi Banten disebut masuk ke dalam delapan besar produsen beras di Indonesia.
Sektor pertanian di Banten masih berkontribusi besar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Hal ini terungkap dalam sesi diskusi peluncuran dan bedah buku “Transformasi Pertanian di Banten, Ketahanan Pangan dan Dinamika Kebijakan Pajale” yang ditulis oleh Kepala Dinas Pertanian (Distan) Provinsi Banten, Agus M Tauchid.
Diskusi digekar di Ruang Serba Guna Fisip Untirta, Sabtu, 15 Februari 2025.
Penjabat (Pj) Gubernur Banten, A Damenta, yang turut hadir dalam acara itu mengatakan, sektor pertanian masih berkontribusi sebesar 5,6 persen atau Rp 46,36 triliun terhadap PDRB Banten.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin memperkuat sinergi dan kolaborasi antara Pemprov Banten, perguruan tinggi, dan pelaku usaha pertanian dalam menerapkan konsep triple helix guna meningkatkan kontribusi sektor pertanian,” ujarnya.
Kata Damenta, meskipun pertanian masih berada di peringkat keenam di bawah sektor industri pengolahan, transportasi, perdagangan, konstruksi dan real estate, upaya untuk mengembangkan sektor ini terus dilakukan.
Wakil Rektor III Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Agus Sjafari, menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi pertanian di Banten.
Menurutnya, permasalahan pertanian di provinsi ini cukup kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
“Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan lahan pertanian yang semakin berkurang akibat alih fungsi menjadi jalan tol dan pembangunan lainnya. Selain itu, terjadi perubahan struktur petani, di mana jumlah petani muda terus menurun. Saat ini, hanya 7,46 persen petani di Banten berasal dari generasi milenial,” ungkapnya.
Akses petani terhadap teknologi pertanian dan pasar juga masih terbatas.
Sementara, dari sisi lingkungan, isu seperti erosi tanah dan penurunan kualitas lahan juga menjadi perhatian.
Agus berharap, buku yang dibedah dalam acara ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pertanian di Banten.
Kepala Distan Provinsi Banten, Agus M. Tauchid, menegaskan, meskipun luas lahan pertanian di Banten kurang dari 200.000 hektare, provinsi ini tetap mampu menjadi penghasil beras terbesar kedelapan di Indonesia.
“Banten mampu mempertahankan posisinya sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Ini bukan pekerjaan mudah, mengingat komoditas pangan, terutama beras, memiliki dimensi politik dan strategis yang sangat tinggi,” ujar Agus.
Agus menjelaskan, kebijakan pertanian di Banten selaras dengan kebijakan nasional, khususnya dalam program Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai (UPSUS PAJALE) yang pertama kali digagas pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“UPSUS PAJALE dirancang untuk memperbaiki irigasi, menyediakan bantuan benih, serta meningkatkan akses alat dan mesin pertanian. Program ini berhasil meningkatkan produksi dan menjaga ketahanan pangan di Banten,” kata Agus.
Bedah buku ini juga membahas evaluasi kebijakan UPSUS PAJALE berdasarkan Teori William Dunn.
Hasil penelitian menunjukkan, program ini memiliki capaian yang cukup baik di berbagai aspek evaluasi kebijakan.
Selain meningkatkan produksi, UPSUS PAJALE juga berhasil mengubah struktur pertanian dan memperkenalkan inovasi dalam sistem pangan.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah peran TNI dalam mendukung produksi dan distribusi pangan.
Ini dianggap sebagai bentuk institusionalisasi baru yang melibatkan aktor negara dalam mendukung sistem pertanian.
“Ke depan, desentralisasi kebijakan pertanian harus dioptimalkan agar setiap daerah bisa menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensinya. Dengan begitu, kedaulatan pangan bisa terwujud,” ucap Agus.
Dengan adanya diskusi dalam bedah buku ini, para peserta berharap, lahir sebuah rekomendasi kebijakan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani di Banten.
Editor: Agus Priwandono