PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Kasus Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Pandeglang, berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Pandeglang, ada 3.692 hingga awal Oktober 2025.
Tahun sebelumnya, Dinkes Pandeglang mencatat, ada 5.400 kasus TBC yang ditemukan oleh petugas kesehatan.
Temuan kasus TBC tersebut dianggap sebagai hasil dari program pengendalian dan deteksi dini yang terus digencarkan oleh pemerintah daerah.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2) pada Dinkes Pandeglang, Dian Handayani, menjelaskan bahwa kasus TBC yang ditemukan tahun ini baru mencapai 62 persen dari target penemuan tahun 2025 yang ditetapkan sebanyak 5.933 orang.
Meski demikian, Dian yakin, capaian temuan kasus TBC tahun ini masih lebih rendah dibandingkan tahun 2024.
Ia menilai, temuan kasus TBC tersebut disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri secara tuntas ketika mengalami gejala TBC.
“Untuk tahun ini memang sedikit lebih rendah dibanding tahun lalu. Salah satu penyebabnya karena masyarakat yang sudah diberi pot dahak oleh dokter untuk pemeriksaan laboratorium tidak semuanya mengembalikan. Padahal itu penting untuk memastikan diagnosis TBC,” ungkapnya, Kamis, 9 Oktober 2025.
Dian menambahkan, penemuan kasus TBC tertinggi tercatat di Puskesmas Sobang. Namun, hal itu justru dinilai positif karena menunjukkan kinerja deteksi dini yang efektif di wilayah tersebut.
Ia menjelaskan, pemeriksaan dahak merupakan langkah utama dalam memastikan seseorang terinfeksi TBC atau tidak.
Sayangnya, sebagian masyarakat enggan melakukannya karena dianggap sulit dan merepotkan.
“Mengeluarkan dahak itu sebenarnya paling mudah dilakukan pagi hari. Tapi banyak yang merasa kesulitan atau sibuk, sehingga tidak mengembalikan sampelnya,” tuturnya.
Dinkes Pandeglang optimistis, target penemuan kasus bisa tercapai hingga akhir tahun.
Dian menegaskan, semakin banyak kasus TBC yang ditemukan, maka penularan penyakit ini bisa lebih cepat dikendalikan.
“Harapan kami sampai akhir tahun bisa mencapai 100 persen dari target. Kalau kasusnya ditemukan, kan bisa segera diobati agar tidak menular ke orang lain,” tambahnya.
Dian juga menyebutkan, tingkat kepatuhan pasien TBC di Pandeglang cukup tinggi. Sebagian besar pasien mau menjalani pengobatan gratis yang disediakan pemerintah di fasilitas kesehatan.
“Masa pengobatan TBC biasanya 6 bulan sampai 1 tahun, tergantung kondisi pasien. Mereka datang ke faskes sebulan sekali untuk kontrol. Rata-rata bisa sembuh kalau patuh minum obat,” jelasnya.
Selain layanan di dalam gedung, Dinkes Pandeglang juga aktif menjalankan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang mencakup skrining TBC bagi masyarakat bergejala.
Jika hasil skrining menunjukkan indikasi TBC, pasien akan dirujuk ke laboratorium untuk pemeriksaan dahak menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM).
Tahun ini, Dinkes Pandeglang juga mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat dan lembaga internasional.
Bantuan tersebut meliputi lebih dari 30 ribu cartridge TCM, obat-obatan, serta dukungan dari Global Fund dan NGO Pena Bulu.
“Cartridge TCM ini digunakan untuk pemeriksaan dahak dengan alat TCM. Selain itu, ada juga dukungan dari Pena Bulu melalui program P60 yang menjangkau pasien-pasien TBC resisten obat,” ungkap Dian.
Menurutnya, pasien TBC resisten obat membutuhkan pendampingan intensif karena pengobatannya lebih lama dan kompleks.
“Pasien resisten obat ini sudah tidak mempan dengan obat-obatan lini pertama. Biasanya karena perilaku minum obat yang tidak teratur,” katanya.
Dian berharap kerja sama antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat terus diperkuat agar target eliminasi TBC di Pandeglang bisa segera tercapai.
“Kami ingin masyarakat lebih sadar untuk memeriksakan diri ketika mengalami batuk berkepanjangan. TBC bisa disembuhkan jika ditangani dengan benar dan tepat waktu,” pungkasnya.
Editor: Agus Priwandono