Oleh : Encep Safrudin Muhyi, MM, M.Sc, Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (QS. Ali ‘Imran : 190)
Orientasi Pendidikan
Kementerian Agama telah meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai upaya menyusun ulang orientasi pendidikan keagamaan di Indonesia. Kurikulum ini tidak hanya berfokus pada transfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab ekologis sejak dini — mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Kurikulum Berbasis Cinta berakar dari mahabbah lillah (kecintaan kepada Allah), yang tercermin dalam keimanan, ketauhidan, serta kesadaran spiritual melalui dzikir dan husnudzan kepada Allah. Semangat cinta kepada Allah, sesama manusia, dan alam harus menjadi landasan utama pendidikan. Tujuannya agar lulusan yang dihasilkan bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan peduli terhadap lingkungan.
Lembaga pendidikan memiliki dua tugas utama: mentransfer ilmu pengetahuan dari mu‘allim kepada muta‘allim dengan berbagai metode, serta mengembangkan ilmu pengetahuan agar tetap relevan dengan tantangan zaman. Pendidikan karakter di Indonesia membutuhkan inovasi yang lebih mendalam, salah satunya melalui pendekatan integratif dan sistematis dalam kurikulum.
Kurikulum Cinta hadir sebagai solusi dengan menginsersikan nilai-nilai keberagaman dalam berbagai mata pelajaran, khususnya dalam pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama.
Kurikulum Cinta menekankan empat aspek utama. Pertama, membangun cinta kepada Tuhan (hablum minallah), di mana anak-anak sejak dini dibiasakan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Kedua, menumbuhkan cinta kepada sesama manusia (hablum minannas), dengan membiasakan anak-anak menghargai keberagaman dan hidup dalam harmoni. Ketiga, menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan (hablum bi’ah), agar generasi muda sadar pentingnya menjaga bumi secara terstruktur dan berkelanjutan. Keempat, menanamkan kecintaan terhadap bangsa (hubbul wathan), agar peserta didik tetap berpegang teguh pada akar budaya dan identitas nasional.
Dengan demikian, implementasi Kurikulum Cinta diharapkan membawa perubahan nyata dalam kehidupan sosial, baik dalam konteks keagamaan, kemanusiaan, maupun kebangsaan. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari aspek kognitif, tetapi juga dari perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Semoga melalui penerapan Kurikulum Cinta, pendidikan Indonesia mampu melahirkan generasi yang toleran, inklusif, dan penuh kasih sayang, serta mewujudkan masyarakat yang harmonis dalam keberagaman.
Cinta sebagai Semangat Ketulusan
Selama ini, kurikulum pendidikan agama di Indonesia lebih banyak menekankan pada pengembangan ilmu, sikap, dan keterampilan. Aspek pengembangan cinta justru belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal, cinta mengandung unsur jiwa dan emosi yang halus, yang dapat membentuk karakter manusia. Pembinaan cinta dalam diri manusia sangat penting karena di dalamnya terdapat sikap kelembutan dan kasih sayang.
Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan Kurikulum Cinta sebagai inisiatif pengembangan pendidikan agama dan keagamaan. Tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini.
Kurikulum ini diyakini berdampak positif bagi perkembangan peserta didik. Selain membentuk generasi yang toleran dan berkepribadian inklusif, Kurikulum Cinta juga diharapkan menumbuhkan kebiasaan sosial yang sehat, baik dalam relasi antarindividu maupun kepedulian terhadap lingkungan.
Menurut Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., kurikulum ini lahir dari kegelisahan terhadap pendidikan yang terlalu berorientasi pada aspek kognitif semata. Cinta adalah bahasa universal yang mampu menjembatani perbedaan dan menyatukan umat manusia dalam harmoni. Spiritualitas harus kembali menjadi roh pendidikan, termasuk dalam konteks ekoteologi — kesadaran bahwa manusia bukan penguasa atas alam, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang harus dijaga bersama.
Kurikulum Berbasis Cinta dibangun atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu:
1. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Cinta kepada diri dan sesama.
3. Cinta kepada ilmu pengetahuan.
4. Cinta kepada lingkungan.
5. Cinta kepada bangsa dan negeri.
Cinta adalah energi yang menjadi pendorong semangat ketulusan untuk berjuang mencapai tujuan hidup secara maksimal. Dalam konteks agama, cinta atau hubb bermakna kemurnian, kebersihan, dan ketulusan. Secara psikologis, cinta adalah perasaan mendalam yang mencerminkan kepribadian murni, bersih, dan tulus dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Secara makro, Kurikulum Cinta mencakup seluruh pelaku pendidikan: pendidik, peserta didik, serta seluruh pihak yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru, sebagai tenaga pendidik utama, berperan penting sebagai curriculum in action—teladan hidup yang mencontohkan nilai cinta dalam sikap dan tindakan sehari-hari.
Melalui Kurikulum Berbasis Cinta, diharapkan lahir generasi yang berpikir dengan cinta, merasa dengan cinta, dan bertindak dengan cinta. Pendidikan bukan hanya mencetak manusia pintar, tetapi membentuk manusia seutuhnya. Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar transformasi kurikulum, melainkan gerakan nilai — sebuah upaya menciptakan ruang belajar yang mengasah nalar sekaligus menghidupkan nurani.
Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum Berbasis Cinta bukan hanya milik madrasah, tetapi milik seluruh bangsa. Kurikulum ini diperkuat oleh tiga pusat pendidikan (tri pusat pendidikan): sekolah, rumah, dan masyarakat. Pendidikan yang utuh hanya dapat terwujud jika melibatkan semua pihak.
Penulis:
Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi Cikedal Pandeglang & Anggota FKUB Provinsi Banten