Kehadiran Dilan dan Milea berhasil menjadi idola baru remaja. Ia mampu menyejajarkan diri sebagai pasangan dalam film remaja yang menyedot perhatian penonton setelah kehadiran Galih-Ratna dari Gita Cinta SMA, Rangga-Cinta dari film Ada Apa dengan Cinta (AADC), dan Adit-Tita dari film Eiffel… I’m in Love. Kemunculan film Dilan 1990 garapan Fajar Bustomi itu langsung menempatkan diri sebagai film terlaris kedua sepanjang sejarah perfilman Indonesia setelah Warkop Reborn.
AADC film karya Rudi Soedjarwo yang dirilis pertama kali pada 7 Februari 2002 dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo menjadi pendobrak kebangkitan film Indonesia yang diklaim mati suri. Lagu tema AADC yang dinyanyikan Melly Goeslaw dan Eric pun menjadi hits. Efeknya, masyarakat keranjingan film itu.
AADC ditayangkan di berbagai negara termasuk Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Singapura. “Saya sampai beli VCD bajakannya di Pasar Royal, Serang, biar bisa menonton. Sudah mah gambarnya buram, terus miring-miring karena direkam mencuri-curi. Terus, cuma setengah durasi dari film versi bioskopnya,” curhat Iyang Sengketa, penikmat film yang juga bekerja di perusahaan swasta di Kota Serang itu.
Demam film AADC berlanjut dengan diproduksinya versi sinetron pada 2003 sampai 2005. Butuh waktu 14 tahun sekuel AADC diproduksi. Wownya, AADC 2 bisa tembus tiga juta penonton dalam waktu singkat. Baru sepekan beredar di bioskop, sudah lebih dari satu juta pasang mata yang menyaksikan film itu.
Sementara Eiffel… I’m in Love hadir pada 2003. Mengangkat konflik remaja dan orangtua, film yang dibintangi oleh Samuel Rizal dan Shandy Aulia itu diangkat dari novel laris Rachmania Arunita, juga berhasil menyedot banyak penonton. Butuh waktu 15 tahun, Eiffel… I’m in Love 2 kembali hadir pada 14 Februari 2018 lalu. Lagi-lagi, bioskop kembali dipadati para remaja.
“Momennya tepat, yakni pas Valentine. Kalau dilihat dari penontonnya sih, bukan hanya seusiaku saja, tapi juga mama papa muda gitulah. Kayaknya sih mereka mau bernostalgia dari film pertama Eiffel… I’m in Love,” tukas Dewi Sarah, mahasiswi yang menetap di Kota Serang.
Nah, film Dilan 1990 yang tayang sejak 25 Januari 2018 menjadi fenomena terbaru. Film yang diangkat dari trilogi buku Dilan karya Pidi Baiq konon kemunculannya mengembalikan pecinta layar lebar pada masa kejayaan AADC pada 2002. Keduanya menghadirkan setting masa-masa remaja SMA dan sama-sama berjaya di tengah gempuran film asing dalam bioskop Indonesia.
Dalam sepuluh hari, Dilan 1990 yang dibintangi Iqbal Ramadhan (sebagai Dilan) dan Vanesha Priscilia (Milea) sudah meraih tiga juta penonton. Saat ini, masih ditayangkan di jaringan bioskop besar Tanah Air.
Darwin Mahesa, pendiri Kremov Picture dan pegiat film berkomentar, film-film Indonesia sekarang sudah menunjukkan kualitas. Data terakhir sepuluh film Indonesia dari 2007-2018 versi Filmindonesia.or.id, film Dilan 1990 berhasil meraih 5.184.357 penonton. Itu posisi kedua setelah Warkop DKI Reborn yang diproduksi 2016 dengan capaian 6.858.616 penonton.
Dilan 1990 juga berhasil mengalahkan beberapa film Indonesia yang sangat ikonik pada masanya seperti Ayat-ayat Cinta (2008) yang mendapat 3,6 juta penonton, Laskar Pelangi (2008) dengan 4,7 juta penonton, serta Habibie dan Ainun (2012) dengan perolehan 4,5 juta penonton. “Itu kan luar biasa,” kata Darwin. “Generasi muda sudah seharusnya mencintai film Indonesia dengan menontonnya, membeli DVD originalnya, dan bagi komunitas film harus terus aktif memproduksi film serta mengikutsertakannya dalam ajang festival,” tambahnya saat dihubungi melalui telepon selular.
Meskipun di awal kemunculannya Dilan 1990 harus menghadapi kenyataan bahwa penonton lebih suka menyaksikan film asing di bioskop seperti Insidious: The Last Key dan Maze Runner: The Death Cure. Saat ini, film Dilan 1990 bersaing dengan film luar berjudul Peter Rabbit dan Black Panther.
Muhammad Andre Cahya Praja, siswa SMAN 1 Kota Serang yang sedang menunggu antrean tiket di salah satu bioskop di mal Serang, kemarin, mengatakan, sudah menonton film Dilan 1990. “Seru, romantis gitu. Terus konfliknya juga enggak membosankan, sesuai banget sama anak muda sekarang,” kata Andre yang lebih suka menonton film di bioskop daripada di rumah melalui laptop.
Ditemui seusai membeli tiket film Black Panther yang akan ditontonnya, Andre juga mengatakan, film Indonesia bisa mengimbangi kualitas film luar negeri. Pelajar kelas XI IPA itu tertarik dengan grafik serta sinematografi film-film luar yang kreatif dan unik.
“Film Indonesia itu bagus-bagus, tinggal meningkatkan kualitas grafik gambar dan sinematografinya saja. Pasti bisa lebih keren dan bisa mendunia,” tuturnya.
Dukungan anak muda terhadap film Indonesia tentu sangatlah besar. Hal itu disampaikan Fujiawati Sahjani, karyawan swasta yang hari itu datang bersama temannya. Ia mengaku tertarik dengan film-film horor karya anak bangsa.
“Kita pasti mendukung perfilman di Indonesia, apalagi kalau ada film horor, pasti saya bakal nonton,” ungkap wanita asal Kasemen, Kota Serang itu.
Ia menambahkan, “Semoga perfilman di Indonesia terus maju dan meningkatkan kualitasnya. Kan selama ini yang bikin film orang Jakarta atau lainnya, jarang banget orang Banten bikin atau punya film. Semoga tahun depan ada film yang bikinan orang Banten.” (daru zetizen-zee/alt/ira/RBG)