PANDEGLANG – Kunjungan wisatawan ke Situs Salakanagara, Kampung Cihunjuran, Desa Pari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang semakin ramai.
Volume pengunjung ke objek wisata ziarah dan wahana kolam air alami ini, dalam lima hari terkahir ini, Senin-Jumat (25-30/6), mencapai 35 ribu wisatawan. Rata-rata per harinya kunjungan wisata mencapai 7.000 orang. Jumlah itu jelas meningkat karena pada hari biasanya hanya 15 sampai 20 orang pengunjung.
Tidak ada tarif khusus untuk masuk ke kawasan ini. Pengelola hanya memberlakukan tiket masuk sebesar Rp10 ribu per orang.
“Memang situs ini dikelola oleh pihak keluarga. Kemarin (Kamis 29/6) saja, habis sekira tujuh gepok tiket, yang jumlah per gepoknya sebanyak 1.000 tiket. Bahkan, sampai lahan parkir pun tak mampun menampung kendaraan dari pengunjung,” kata Wahyu, pengelola wisata objek ziarah Cihunjurang, Jumat (30/6).
Menurut Wahyu, para pengunjung tempat ziarah dan wahana kolam air alami dari sumber mata air kaki Gunung Pulosari ini mayoritas dari Tangerang dan Jakarta. “Tempat ini cukup banyak diketahui warga luar daerah khususnya dari Tangerang dan Jakarta,” katanya.
Eli, tokoh masyarakat yang juga mantan kepala Desa Pari, Kecamatan Pulosari, menerangkan bahwa lokasi ziarah ini terbagi dua wilayah, yakni Desa Pari dan Desa Cikoneng. Infrastruktur jalan berada di wilayah Desa Pari, sementara tempat ziarahnya berada di wilayah Desa Cikoneng.
“Pada saat saya menjabat (kepala Desa Pari-red), sebagian jalan menuju situs ini dilakukan pembangunan paving block dari anggaran DD (dana desa). Tapi, lahan basah ini, pihak desa tidak pernah ikut campur dalam pengelolaannya,” katanya.
Dihubungi melalui telepon seluler, Kepala Seksi (Kasi) Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Pandeglang Taten mengatakan, Situs Cihujuran yang merupakan peninggalan sejarah sebelum peradaban Islam itu belum diketahui pasti ceritanya.
Kata Taten, menurut informasi juru pelihara Situs Cihunjuran, ceritanya terdapat dua versi, yakni peninggalan sejarah pada zaman Prabu Angling Dharma dari Kerajaan Malawapati dan versi lainnya menyebutkan situs itu merupakan peninggalan Kerajaan Pajajaran.
“Sementara itu, kami baru hanya bisa menemukan petilasan, tempat peribadatan, dan peninggalan yang diduga cagar budaya lainnya saja berupa bebatuan (menhir-red),” katanya. (Hermansyah/RBG)