SERANG – Pilkada serentak 2018 di Provinsi Banten digelar hari ini (27/6). Pengamat politik Untirta Leo Agustino mengungkapkan, potensi golput menguat di pilkada ini karena beberapa indikator. Salah satunya disebabkan fenomena calon tunggal.
“Tidak adanya pilihan alternatif membuat masyarakat enggan datang ke TPS, sementara masyarakat di Kota Serang punya banyak alasan untuk datang ke TPS karena disajikan banyak pilihan,” kata Leo kepada Radar Banten, Selasa (26/6).
Leo melanjutkan, melihat data Pilgub Banten 2017, angka golput tinggi atau hampir 40 persen. Partisipasi pemilih hanya 62,78 persen atau jauh dari target 77 persen. Dari 7.732.644 warga berhak pilih di Pilgub Banten 2017, yang menggunakan hak pilihnya hanya 4.871.461 orang.
“Sulit membayangkan bila partisipasi pemilih dengan calon tunggal bisa mencapai 77 persen di Pilkada 2018. Bahkan untuk Pilkada Kota Serang saja, perkiraan yang masuk akal hanya 64 hingga 69 persen,” paparnya.
Dari empat daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak di Banten, tiga daerah diikuti oleh calon tunggal. Yakni, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang. Sementara di Kota Serang, pilkada diikuti tiga pasangan calon.
Keputusan pemerintah meliburkan secara nasional hari pemungutan suara, dinilai Leo tidak menggaransi partisipasi pemilih meningkat. “Warga justru memanfaatkan libur nasional untuk rekreasi, bukan untuk datang ke TPS,” tuturnya.
Tanpa mengurangi kinerja KPU kabupaten, kota, dan provinsi, sosialisasi tentang pilkada dengan calon tunggal belum optimal. Sehingga, informasi terkait calon tunggal tidak otomatis menang tidak sampai ke masyarakat.
“Ditambah beberapa pemilih tidak mendapatkan surat pemberitahuan untuk memilih, lokasi TPS yang tidak bisa diakses oleh masyarakat, figur pasangan calon, membuat varian lain yang menyebabkan warga menjadi golput,” urainya.
“Padahal aturan tentang calon tunggal harus menang 50 persen plus satu menjadi tantangan tersendiri bagi paslon tunggal. Bila mereka menangnya di bawah 50 persen, tidak akan dilantik. Bahkan bila kotak kosong yang menang, pilkada wajib diulang. Jadi, tidak mudah bagi calon tunggal untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih,” sambung Leo.
Terpisah, pengamat politik Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, calon tunggal di Pilkada 2018 di Banten berpotensi besar menang melawan kotak kosong. Namun, kemenangan tersebut diikuti oleh partisipasi masyarakat yang rendah.
Ray menyebut hal itu disebabkan psikologi pemilih saat ini, jika tidak suka dengan pasangan calon maka mereka tidak datang ke TPS. “Psikologi pemilih kita itu, kalau dia tidak suka, tidak minat, tidak tertarik. Dia tidak datang ke TPS,” ujarnya.
Menurut Ray, tingginya potensi golput tidak hanya mengancam target partisipasi pemilih, tapi juga berdampak pada calon tunggal itu sendiri. Mereka diharuskan undang-undang untuk menang melawan kotak kosong dengan mendapat suara 50 persen plus satu. Namun jika tidak ada pemilih yang datang ke TPS, maka tidak ada yang akan mencoblos kotak kosong untuk mengalahkan si calon tunggal. “Jadi potensi menangnya tinggi, partisipasinya rendah,” tegasnya.
Saat dikonfirmasi, Ketua Divisi Sosialisasi, SDM, dan Partisipasi Masyarakat KPU Banten Eka Satyalaksmana mengakui bila potensi golput sangat tinggi. Kendati begitu, KPU provinsi dan kabupaten kota telah melakukan berbagai upaya dalam rangka sosialisasi agar para pemilih menggunakan hak pilihnya.
Ketua KPU Banten Wahyul Furqon mengaku, optimistis partisipasi pemilih bisa mencapai target 77,5 persen. “Ya kalau tidak tercapai, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Prinsipnya kita bekerja sesuai aturan dan sudah mengerahkan segala hal untuk mendorong partisipasi pemilih,” katanya.
Terkait calon tunggal, Wahyul mengakui, memang aturannya harus menang 51 persen dari suara sah. Kalau di bawah itu, gubernur akan menunjuk penjabat kepala daerah. “Kalau kotak kosong yang menang. Tahapannya akan diulang pada 2020,” tuturnya. (Deni S/RBG)