Bioskop bukan cerita baru di Kota Serang. Dari masa kolonial hingga era 1980-an, ada baberapa pilihan warga Ibukota Banten menyaksikan film di bioskop. Berikut kisahnya.
‘Pelita Billiard’, tulisan itu terpampang pada tembok gedung berwarna oranye yang mulai memudar. Gedung itu kosong, tanpa aktivitas. Yang terkenang hanya sisa-sisa ceritanya yang memudar.
Lebar muka gedung itu sekira sembilan meter. Berandanya penuh gerobak pedagang. Bangunannya diapit ruko kosong bertulis ‘Agung’ di samping kiri dan gedung walet, yang temboknya menjulang lebih tinggi di sisi kanan.
Gedung yang konon awalnya dijadikan tempat opera itu tak jauh dari jalan raya. Hanya seratus langkah untuk berdiri di muka gedung. Tepatnya, di gang Jalan P Purbaya, belakang Pasar Swalayan atau Departemen Store Serang, Pasar Lama, Kota Serang. “Sudah lama tutup, hampir dua tahun,” ujar pemilik warung kopi ‘Mak Malik Pelita’ sembari menyodorkan secangkir kopi, Kamis (11/4).
Siang nan cerah itu, Mak Malik tak sendirian. Beberapa orang sedang singgah di warungnya. Mereka pun ikut nimbrung berbincang. Mengenang seputar masa-masa gedung Pelita sebagai tempat melepas penat warga. Dari sekadar nongkrong, nonton film, sampai bermain biliar atau bola sodok.
Dari cerita yang beredar, gedung Pelita beberapa kali berganti nama. Mulai dari Banten Teater, Banten Park, Sampurna, hingga Pelita, hingga Pelita. “Tahun 1997-an sudah mulai tutup. Enggak dipakai lagi,” cetus Iit, Warga Pasar Lama yang sejak kecil menghabiskan waktunya di sekitar gedung bekas bioskop itu.
Cerita Pelita juga masih dikenang Iwan Subekti. Masa kecil pria berkacamata itu banyak dihabiskan di sekitar bioskop Pelita. “Dulu tiketnya mulai Rp50 sampai paling mahal Rp200,” katanya.
Dirinya masih ingat struktur ruangan gedung Pelita kala itu. Kata Iwan, di samping kanan dan kiri ruang bioskop terdapat anak tangga. Bioskop Pelita dibagi menjadi dua kelas. Kelas I, dengan kursi kayu panjang tiga saf berjajar. Posisinya tepat berada di depan layar. Sedangkan kelas balkon, posisinya berada di atas dekat proyektor. Dalam sehari, hanya satu film yang diputar. Kecuali pada akhir pekan, yang biasanya juga memutar film malam.
“Macem-macem filmnya. Ada film kolosal Spartakus dan film Indonesia seperti Panji Tengkorak. Macam-macamlah,” kenang Iwan.
Cerita soal Bioskop Pelita dibenarkan Peneliti Bantenologi Yadi Ahyadi. Dia menduga gedung Bioskop Pelita dibangun sekira tahun 1920-an. Dugaannya berdasar arsitektur bangunannya. Juga beberapa arsip dalam pemberitaan di koran De Banten Bode dan koran-koran lokal masa itu.
Pada masa pemerintah kolonial, gedung Pelita bernama Teater Banten. Tempat pertunjukan atau opera yang dibangun pengusaha Tionghoa. Status Banten sebagai residen jadi alasannya.
Saat film mulai menggeliat di era 1932, Banten Teater difungsikan juga sebagai bioskop. Tak hanya tempat pertunjukan, film-film dari Eropa pun mulai diputar. “Banten Teater itu tontonan kelas bangsawan Eropa,” kata Yadi.
Pemutaran film dan pertunjukan sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, gedung Banten Teater dijadikan tempat tahanan politik dalam kurun waktu 1942 sampai 1945. Era itu, masa memudarnya bioskop dan tempat-tempat pertunjukan.
Bioskop kembali beroperasi pada tahun 1953. Hanya saja, sudah berubah dengan nama dari Teater Banten menjadi Banten Park. Sebelum menjadi Pelita, nama Banten Park dan Sampurna lebih dahulu digunakan.
Baru sekira tahun 1960-an, nama Pelita resmi disematkan hingga tutup pada 1997-an. Tak hanya bioskop, pada tahun 1973, Pelita punya sarana bagi kawula muda bermain bola sodok.
Kisah Bioskop Merdeka juga familier di kalangan masyarakat Kota Serang. Bioskop itu berdiri selang lima tahun dari berdirinya Pelita. Mulanya bernama Royal Park. Senasib dengan Teater Banten, gedungnya juga pernah dijadikan rumah tahanan orang Australia hingga Jepang tunduk kepada sekutu.
Konon, pengusaha Tionghoa muslim yang mendirikan gedung itu. Bioskop Merdeka kelasnya di bawah Banten Teater. Di masa kolonial, di gedung bioskop inilah masyarakat pribumi bisa menikmati film. Juga melakukan pementasan pertunjukan atau opera pada masa itu.
Sayang, nasib Bioskop Merdeka lebih tragis. Tak ada jejak bangunannya yang bisa ditelusuri. Pada 2004, gedung diratakan dengan tanah. Sekarang, hanya ruko-ruko yang berjajar yang berlokasi di kawasan Royal, Kota Serang itu.
Tak jauh dari bekas gedung Bioskop Pelita, juga berdiri bekas gedung Bioskop Plaza Serang. Jaraknya sekira 200 meter dari gedung Pelita, di Jalan Maulana Hasanuddin, Pasar Lama. Bioskop itu, berdiri di lantai dua Plaza Store. Kabarnya, bioskop mulai beroperasi tahun 1980-an dan tutup tahun 1998.
Jejak bangunannya masih terlihat kasat mata. Hanya saja, menjadi ruang kosong tanpa penghuni. Beberapa ruko di bawahnya masih digunakan untuk berdagang. Namun, tampak tak beraturan. Kumuh dan jauh dari kesan rapi, apalagi bersih.
Selain tiga bioskop itu, Bioskop Dewi di Kedalingan melengkapi cerita kisah bioskop di Kota Serang. Nasibnya sama dengan Bioskop Merdeka, tanpa jejak artefak bangunannya.
Bioskop Dewi berdiri tahun 1960-an. Lebih awal daripada Bioskop Plaza Serang. Informasinya, tempat nonton film itu tutup bersamaan permindahan Terminal Kedalingan ke Ciceri, sebelum akhirnya terminal dipindahkan lagi di Pakupatan hingga sekarang. “Dampak dari itu, orang ke bioskop sepi. Bioskop tutup lebih awal sekira 80-an,” kata Yadi.
Yang teranyar, bioskop Cinemaxx dibuka di Kota Serang pada 2017 lalu. Meski masih pro dan kontra soal perizinan, bioskop di dalam salah satu mal di Ibukota Banten ini banyak diminati masyarakat.
Bioskop ini memiliki lima layar Cinemaxx Reguler. Film-film Indonesia dan internasional terbaru dalam format digital 2D dan 3D rutin diputar. Akhir pekan, biasanya cukup padat dipenuhi pengunjung. Bioskop milik PT Cinemaxx Global Pasifik memiliki sebanyak 528 kursi.
Nonton film memang jadi sarana alternatif hiburan masyarakat. Masa kolonial, pemerintah mewajibkan setiap kota keresidenan memiliki tempat pertunjukan atau bioskop. Yang tertua, Nederlandsche Bioscope Maatschappij (perusahaan bioskop Belanda) yang mulai buka pada 5 Desember 1900. Menyusul Toneel Melayu di Surabaya dan kota lain hingga Keresidenan Banten.
Menurut Yadi, Serang sebagai wilayah Keresidenan Banten sangat ramai. Masa itu, ada sekira 40 persen orang China, 15 persen orang Belanda, dan palancong lainnya. Peluang dibaca dan masuk sebagai strategi pemerintah kolonial dalam menompang investasi pembangunan ekonominya.
Pemerintah pada masa itu menganggap, orang-orang yang lelah berdagang atau bekerja pasti membutuhkan ruang hiburan. Karenanya, perlu wadah sehingga perputaran ekonominya tidak keluar daerah.
“Enggak seperti sekarang, kerja capek di sini (Kota Serang-red), tapi ngabisin duitnya di Tangerang karena di sini enggak ada hiburan,” cetusnya. ( KEN SUPRIYONO)
Tulisan pertama dari tiga tulisan/bersambung.