Gunung Santri dan Gunung Lempuyang di Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, mempunyai sejarah tersendiri. Dua tempat itu hingga kini banyak dikunjungi penziarah.
ABDUL ROZAK – SERANG
Kemarin (26/8) siang, cuaca di Kecamatan Bojonegara cukup panas. Sepanjang jalan penuh dengan debu, mobil-mobil besar hilir mudik mengangkut bahan material dari arah pegunungan.
Di pinggir jalan Bojonegara-Puloampel, terlihat sebuah bukit yang berada di sebelah kiri jalan. Bukit itu terlihat tandus, tidak ada pepohonan besar yang tumbuh di atasnya. Di puncak bukit, terlihat bangunan kecil yang didalamnya terdapat makam keramat. Warga menyebut bukit itu dengan nama Gunung Santri.
Siapa yang tidak tahu Gunung Santri? Tempat itu menjadi salah satu wisata religi di Kecamatan Bojonegara. Letaknya berada di sebelah barat laut pantai utara Banten, yaitu sekira 25 kilometer (km) dari arah Serang dan tujuh km dari Cilegon.
Di sekitar Gunung Santri terdapat perkampungan di antaranya Lumajang, Beji, Kejangkungan, Gunung Santri, dan Pangsoran. Khusus di kaki bukit kampung Beji terdapat Masjid Beji yang merupakan tonggak sejarah Kota Cilegon. Kampung Beji juga dikenal sebagai tempat kelahiran pahlawan nasional Brigjen KH Syamun pada 5 April 1894.
Gunung Santri sebetulnya tidak memenuhi kriteria untuk disebut gunung. Namun, warga setempat sudah menyebut bukit tersebut dengan sebutan Gunung Santri. Tempat di mana seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Soleh bin Abdurrahman menyiarkan agama Islam. Di tempat itu, Syekh Muhammad Soleh mengajar santri-santrinya.
Belum diketahui detail kapan Syekh Muhammad Soleh dilahirkan. Namun, sejarah mencatat Syekh Muhammad Soleh meninggal pada 1550. Ia adalah salah satu murid dari Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Berdasarkan cerita dari sejumlah warga, Syekh Muhammad Soleh datang ke Banten atas perintah dari Sunan Gunung Jati untuk mencari anaknya, yakni Sultan Maulana Hasanuddin di Banten. Karena, Sultan Maulana Hasanuddin sudah lama tak kunjung pulang ke Cirebon.
“Syekh Muhammad Soleh tinggal di puncak Gunung Santri dan menetap di sana sambil menyiarkan agama Islam,” kata tokoh masyarakat Desa Bojonegara, Sarifudin, kepada Radar Banten di kaki Gunung Santri, kemarin.
Syekh Muhammad Soleh dan Sultan Maulana Hasanuddin kemudian bertemu di puncak Gunung Lempuyang, bukit yang lokasinya tak jauh dari Gunung Santri. Gunung Lempuyang juga mempunyai tekstur perbukitan yang sama dengan Gunung Santri.
Warga Kecamatan Bojonegara, Hilmi menceritakan, Gunung Lempuyang menjadi tempat munajat Sultan Maulana Hasanuddin. Sebelum berperang melawan Pucuk Umun untuk menaklukkan Banten.
Saat itu, Syekh Muhammad Soleh mengajak pulang Sultan Maulana Hasanuddin ke Cirebon berdasarkan perintah ayahnya. Namun, sultan pertama Banten itu menolak dengan alasan ingin menyiarkan agama Islam di Banten. Kemudian, Syekh Muhammad Soleh pun menetap di Gunung Santri sambil mendampingi Sultan Maulana Hasanuddin berdakwah di Banten.
Kata Hilmi, di puncak Gunung Lempuyang juga terdapat makam keramat, yakni makam Buyut Agung. Menurut Hilmi, Lempuyang mempunyai makna lampu penerang. Karena, di tempat tersebut tempat belajar mengaji para sesepuh Banten. Di puncak Gunung Lempuyang, diceritakan juga sebagai tempat para ulama untuk mengintai para penjajah pada masa Kolonial Belanda.
Hingga kini, dua tempat tersebut sering dikunjungi oleh para penziarah. Cagar budaya tersebut sudah menjadi salah satu wisata religi di Kecamatan Bojonegara. Menurut Syarifudin, dua cagar budaya tersebut seharusnya dapat dikuasai oleh pemerintah, bukan perorangan. Sehingga, pemerintah masih bisa menjaga cagar budaya itu. (*)