Oleh: Taufik Hidayatullah, pegawai NFBS Serang
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Hamka lahir pada tanggal 16 Februari tahun 1908 M di Desa Tanah Sirah Sungai Batang tepi danau Maninjau Sumatera Barat. HAMKA merupakan putera dari salah seorang ulama besar yang berasal dari Sumatera Barat yang bernama Abdul Karim Amrullah atau akrab disapa Haji Rasul. hlm. 3.
Haji Rasul merupakan tokoh pencetus pergerakan pembaruan (tajdid) dari kalangan anak muda Minangkabau. Yang mana, selepas kembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Diceritakan dalam buku Rusdi Hamka yang berjudul pribadi dan martabat Hamka bahwa pada saat itu Abdul Karim Amrullah merupakan pelopor gerakan yang menentang ajaran Rabithah.
Rabithah merupakan pergerakan yang menghadirkan guru dalam ingatan sebagai salah satu metode yang dilalui oleh para pengikut tarekat untuk mempraktikkan suluk (meniti jalan spiritual menuju Allah SWT). hlm. 4
Pada saat sedang bergejolaknya pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Maka, lahirlah sosok Hamka yang sedari kanak-kanak sudah terbiasa dengan perdebatan-perdebatan yang cukup sengit perihal keagamaan. Dimasa kanak-kanak sendiri sosok Hamka banyak menghabiskan waktunya di surau maninjau untuk mengenyam pendidikan.
Hamka menjadikan Surau sebagai sarana bagi dirinya perihal pembentukan karakter serta budi pekerti. Selain itu dari Surau juga sosok Hamka belajar berpidato. Terbukti pengejawantahan tersebut dengan lahirnya buku pertama Hamka berjudul Khatibul Ummah yang berisi materi-materi khutbah dari teman-temanya sendiri yang dicatat serta dibukukan menjadi sebuah buku. Potensi Hamka dalam dunia literasi sudah nampak sedari kanak-kanak sehingga menginjak beranjak dewasa hingga wafat pada usia 73 tahun segudang buku-buku telah lahir, hal tersebut tidak terlepas dari pengalaman pertamanya tersebut. h. 4
Pada tahun 1916 seorang ulama bernama Zainuddin Labay El Yunusy mendirikan lembaga pendidikan agama Diniyah School. Buku-buku yang dipelajari mengajarkan tentang Bahasa Arab serta mengadopsi dari buku-buku sekolah rendah yang berada di Mesir. Pagi hari Hamka kanak-kanak belajar di sekolah desa. Kemudian sore harinya beliau belajar di Diniyah School.
Pasca tiga tahun belajar, pendidikanya sedikit terbengkalai dikarenakan ayahnya membawa pulang Hamka kecil ke Sungai Batang. Akan tetapi, semenjak dimasukkan ayahnya ke sekolah yang didirikan sendiri oleh ayahnya yaitu Madrasah Thawalib, seorang Hamka anya bisa belajar pagi hari ke Diniyah School, kemudian sore harinya belajar ke Thawalib dan malam harinya kembali ke Surau. h. 7
Hamka kecil banyak menghabiskan pembelajaran secara informal yang bersumber dari ayahnya secara langsung, yaitu Abdul Karim Amrullah beserta para ulama. Hamka tidak menamatkan pendidikanya secara formal. Namun cakrawala keilmuanya amat luas akibat daripada semangat belajarnya secara autodidak yang bersumber dari berbagai tokoh. Hamka justru dikabarkan hanya bersekolah sampai kelas 2 SD saja, dan guru-guru Hamka berasal dari tokoh-tokoh yang cukup terkenal, seperti Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Ahmad Rasyid, AR. Sutan Mansyur, R.M. Suryopranoto, dan Ki Bagus Hadi Kusumo. h. 15
Rekam Jejak Pendidikan Buya Hamka
Pada Juli 1924 Hamka Mengungkapkan keinginannya untuk merantau ke jawa melalui ayahnya, Hamka berjanji untuk belajar agama kepada Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang merupakan kakak iparnya yang berada di pekalongan, namun Sebelum beranjak ke pekalongan untuk memenuhi janjinya, seorang Hamka singgah terlebih dahulu di Yogyakarta, di sana Hamka menemui pamanya yang bernama Ja’far Amrullah, setelah diperkenalkan dengan Sarekat Islam, ia bergabung dan menjadi anggota kemudian berlanjut dengan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam, di sanalah Hamka bertemu dengan Bagoes Hadikoesoemo yang menjadi tempat berguru tafsir Baidhawi. Selain itu, Hamka juga banyak mendapatkan pengajaran tentang ide-ide gerakan sosial politik dari HOS Tjokrominoto, Fakhruddin, dan Suryopranoto, yang diselenggarakan di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Dari tokoh-tokoh tersebutlah sosok Hamka mengetahui dan mengenal pergerakan politik Islam. h. 16
Pasca kurang lebih enam bulan, sosok ketum MUI pertama ini (1975-1981), berada di Yogyakarta untuk mempelajari berbagai disisplin ilmu dari para tokoh yang berada di sana, seorang Hamka kemudian menunaikan janjinya untuk menemui kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang berada di pekalongan, dan di sanalah Hamka mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyyah dan berlatih berpidato di depan khalayak umum, dari catatan yang bersumber dari Rusydi Hamka, di sanalah ayahnya berkenalan dengan Cirosuarno dan mas Ranuwiharjo serta mas Usman Pujotomo. h. 19
Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayahnya juga mengakui bahwa anaknya masih belum cukup ilmu walaupun pandai berceramah maupun berdebat perihal agama. Ketika Hamka merasa berkecil hati dengan sindiran ayahnya, ditambah lagi ketika Muhammadiyyah membuka lowongan Tenaga pengajar di Padang Panjang, anaknya HAMKA tidak lolos tes dikarenakan tidak memenuhi syarat, yang mana lampiran dalam formulir pendaftaran terdapat aturan mengharuskan adanya bukti kelulusan berupa ijazah. h. 20
Terlanjur menelan pil pahit, Hamka lantas tidak sama sekali berputus asa. Dari sanalah berjualan kapas Hamka yang waktu itu menginjak usia 19 tahun, yaitu timbul keinginan untuk pergi belajar ke Makkah, dikarenakan khawatir sosok ayahnya tidak kunjung memberikan izin kepadanya, akhirnya Hamka menyampaikan niat baiknya kepada neneknya, dan dari hasil jerih payah berjualan kapas neneknya itulah, seorang Hamka bertolak hijrah melawat ke Makkah menggunakan kapal laut. h. 20
Tak hanya neneknya yang ikut membantu Hamka, peran dari seorang pamanya yang bernama Engku Muaro beserta teman-temanya, tak luput membantu memberi ongkos perjalanan menuju Makkah. pasca tiba di Makkah, seorang Hamka mulai bekerja disana menjadi seorang pegawai percetakan di rumah Syekh Amin Idris, disanalah pula Hamka banyak melahap kitab-kitab klasik, buku-buku, dan bulletin Islam yang berbahasa Arab, pasca tujuh bulan berada di Makkah, beliau pun pulang ke tanah air dan menetap di Medan. h.20
Hamka merupakan sosok ulama autodidak dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti sastra, sejarah, filsafat, politik dan sosiologi. Melalui kemahiranya yang sangat tinggi dalam berbahasa Arab, ia mampu menyelidiki karya-karya ulama dan pujangga-pujangga besar di Timur Tengah, seperti, Zaki Mubarak, Abbas al-Aqad, Husain Haikal, dan Mustafa al-Manfaluti.
Tak hanya itu beliau juga mampu meneliti karya sarjana Inggris, Prancis, dan Jerman, seperti, William James, Arnold Toynbe, Karl Marx, Pierre Loti, Albert Camus, Sigmund Freud, dan Jean Paul Sartre. h. 107. Pun, dalam kacamata James Rush, yang merupakan seorang peneliti spesialis Hamka, mengungkapkan bahwasanya tulisan Hamka mencapai 115 judul dalam berbagai disiplin ilmu, namun karya Hamka yang paling fenomenal dan merupakan magnum opusnya, adalah tafsir al-Azhar yang terdiri dari 30 juz al-Qur’an yang dituntaskanya dibalik jeruji besi. h. 104 Wallahu’alam