SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Kepala Desa (Kades) Nagara, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang Abdul dituntut 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang.
Ia dinilai telah terbukti bersalah melakukan pemalsuan surat-surat tanah yang berlokasi di Desa Nagara.
“Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan, dengan perintah di tahan,” katanya sidang di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Kamis siang, 21 Maret 2024.
Abdul dinilai telah terbukti bersalah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebelum amar tuntutan itu dibacakan, JPU telah mempertimbangkan hal yang memberatkan dan hal yang meringankan bagi terdakwa.
“Hal yang memberatkan terdakwa adalah meresahkan masyarakat dan sebagai perangkat desa seharusnya mereka mengayomi warga. Hal meringankan terdakwa Sopan dalam persidangan,” katanya.
Dalam surat tuntutan JPU, perkara kasus dugaan pemalsuan surat ini berawal pada tahun 2018. Ketika itu Adul yang menjabat sebagai Kades Nagara memerintahkan anak buahnya Sehkolib, untuk dibuatkan surat pernyataan jual beli sementara.
“Sebelum diaktakan dari Duriah kepada terdakwa dan surat pernyataan jual beli sementara sebelum diaktakan dari terdakwa, kepada saksi Madisa,” katanya di hadapan majelis hakim yang diketuai Hery Cahyono.
Abdul kemudian memberikan fotokopi KTP dan kartu keluarga milik Duriah, terdakwa dan Madisa kepada anak buahnya itu. Selain itu Abdul juga menyerahkan bukti riwayat tanah atas tanah tersebut yang ditulis tangan serta batas-batas tanah.
“Setelah mendapatkan data-data tersebut Sehkolib membuatkan surat jual beli sementara sebelum diaktakan tersebut setelah itu, surat tersebut saksi Sehkolib serahkan kepada terdakwa,” ungkapnya.
Setelah itu, terdakwa sambung Rani, meminta tandatangan Duriah dan Madisa di surat yang telah dibuat oleh Sehkolib. Barulah kemudian, anak buah Abdul mendatangi Sarja mantan Kades Nagara tahun 2018 untuk meminta tandatangan surat pernyataan jual beli sementara sebelum diaktakan.
“Sehkolib mengatakan kepada Sarja bahwa telah terjadi jual beli antara Madisa dengan terdakwa. Setelah itu Sarja menandatangani surat. Namun tidak diregister di desa karena surat tersebut tidak dibuat oleh pihak desa,” katanya.
Kemudian, Rani menjelaskan pada tahun 2020, ketika PT Infiniti Triniti Jaya melakukan pengecekan lokasi tanah yang akan digunakan untuk perumahan di Desa Nagara, ada beberapa warga yang mengaku sebagai pemilik tanah. Salah satunya yaitu Madisa.
“Pada bulan April 2023 saat PT Infiniti Triniti Jaya melakukan proses pembangunan dengan menurunkan alat berat, Madisa memasang plang di tanah, kemudian pada Mei 2023 Madisa menunjukan surat pernyataan jual beli sementara sebelum diaktakan dari terdakwa kepada Madisa,” jelasnya.
Atas kejadian itu, Rani menegaskan Madisa meminta kepada pihak PT Infiniti Triniti Jaya untuk membayar uang pembelian tanah, dan tidak melakukan pembangunan sebelum ada uang pembelian. Padahal lokasi tanah yang akan dilakukan pembangunan oleh PT Infiniti Triniti Jaya tersebut, telah dibeli perusahaan.
“Akibat dari surat pernyataan jual beli sementara sebelum diaktakan yang dibuat oleh Sehkolib tersebut, menyebabkan Madisa merasa memiliki hak atas tanah tersebut dan berakibat timbulnya kerugian materil yang dialami oleh PT Infiniti Triniti Jaya sebesar Rp6,2 miliar,” tuturnya.
Usai mendengarkan tuntutan JPU, terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan eksepsi selama dua pekan. Namun majelis hakim hanya menyetujui satu pekan penundaan sidang. (*)
Reporter: Fahmi
Editor: Aas Arbi