PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Nasib tragis menimpa tiga kakak beradik siswa sekolah dasar (SD) di Pandeglang, Banten, yang terpaksa dipulangkan oleh pihak sekolah akibat tunggakan SPP yang mencapai Rp 42 juta. Kejadian ini mengguncang masyarakat, mencerminkan krisis pendidikan yang dialami keluarga kurang mampu.
Ketiga siswa berprestasi tersebut, Faeza (11), Farraz (10), dan Fathan (7), bersekolah di Yayasan Islamic Centre Herwansyah (ICH) Pandeglang. Kisah mereka viral di media sosial setelah video pemulangan paksa tersebar, memicu empati publik terhadap nasib mereka.
Pemulangan dilakukan saat jam pelajaran berlangsung, menyisakan duka mendalam bagi ketiganya. Wajah lesu dan hati hancur mereka saat dijemput mobil sekolah menjadi gambaran nyata dari ketidakadilan yang terjadi, di mana mereka tidak melakukan kesalahan apa pun selain terlahir dalam kondisi ekonomi yang sulit.
“Saya mencari keadilan agar anak-anak saya bisa kembali bersekolah dan mendapatkan hak mereka untuk belajar. Kasihan mereka,” ungkap Fahat, ayah dari tiga siswa tersebut, saat dihubungi oleh RADARBANTEN.CO.ID, Minggu, 27 Oktober 2024.
Fahat mengungkapkan kecemasannya karena anak-anaknya kini terancam putus sekolah, terutama menjelang ujian nasional. Satu dari anaknya kini duduk di kelas 6, sedang bersiap untuk ujian yang menentukan masa depannya.
“Satu anak saya kelas 6, saya jadi kepikiran kasihan karena mau ujian nasional, tapi sekarang tak bisa. Mental anak-anak juga jadi terganggu,” ungkapnya.
Meskipun Fahat berusaha keras agar anak-anaknya tetap bisa bersekolah setelah surat pemberhentian dikeluarkan pada 15 April 2024, kenyataan pahit harus diterima ketika pada 22 April 2024 mereka dipulangkan paksa.
“Setelah surat itu keluar, anak-anak tetap berangkat ke sekolah, berharap ada kebijakan dari sekolah. Tapi ternyata, setelah libur sekolah mereka dipulangkan lagi,” jelasnya.
Proses pemulangan dilakukan oleh dua guru dan seorang staf kesiswaan, yang membawa ketiga anaknya pulang dengan mobil sekolah, seperti yang terlihat dalam video viral di media sosial.
“Itu diantar sama dua orang guru dan satu kesiswaan, diantar pakai mobil sekolah sesuai yang ada di video itu,” tuturnya.
Sebagai orang tua, Fahat berharap anak-anaknya bisa menikmati pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan, sama seperti anak-anak lain yang semangat belajar.
“Sama seperti orang tua lain, saya merasa iba. Kita punya presiden yang menjanjikan makan siang gratis dan pendidikan gratis, tapi kenyataannya masih ada kejadian seperti ini. Sangat disayangkan,” kata Fahat.
Kejadian ini bukan hanya soal mencari simpati, tetapi menjadi sorotan bagi masyarakat untuk menuntut keadilan bagi anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah.
“Kenapa ramai seperti ini? Bukan berarti saya mau cari simpati atau perhatian. Saya cuma ingin anak saya bisa mendapatkan haknya untuk belajar. Semoga ini juga jadi pelajaran supaya tidak ada korban lain seperti anak saya,” tuturnya.
Kini, ketiga anaknya sering bertanya kapan bisa kembali bersekolah. Fahat merasa sedih karena tidak bisa memberi jawaban pasti kepada mereka.
“Anak-anak sering nanya, ‘Kapan bisa sekolah lagi?’ Mereka rindu belajar dan bertemu teman-temannya. Sampai sekarang, mereka masih di rumah,” ujarnya.
Ironisnya, meskipun anak-anaknya berprestasi dengan banyak sertifikat penghargaan, pihak sekolah tetap tidak memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka.
“Anak-anak saya punya banyak prestasi, dibuktikan dengan sertifikat yang mereka raih. Tapi mereka tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir semester oleh pihak sekolah. Sampai saat ini belum ada respons dari sekolah, padahal saya sudah memohon ke kepala sekolah agar mereka bisa seperti teman-temannya,” kata Fahat.
Tekanan berat dan rasa malu kini menghimpit Muhammad Fahat. Ketidakpastian masa depan anak-anaknya menjadi beban pikiran yang berat.
Fahat mengungkapkan bahwa ia bekerja sebagai buruh harian lepas dan kadang menjadi kuli bangunan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka masih menumpang di rumah kontrakan, menggambarkan betapa sulitnya kehidupan mereka saat ini.
“Kalau saya kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan, ya ngaduk apa saja lah. Rumah juga masih ngontrak baru 10 bulan. Harapan saya, anak-anak bisa punya masa depan yang sama seperti anak-anak lain,” tandasnya penuh harap.
Hingga berita ini diturunkan, pihak sekolah belum memberikan keterangan resmi terkait pemulangan paksa tiga siswa SD di Pandeglang karena tunggakan SPP.
Editor : Merwanda