SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten tidak tinggal diam melihat kondisi tindak pidana perdagangan orang. Misalnya mempekerjakan warga Banten secara ilegal ke luar negeri.
Melalui Komisi Hukum dan Perundang-undangan, MUI Banten mengumpulkan perwakilan pengurus MUI kabupaten dan kota, serta organisasi masyarakat keagamaan se-Banten pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Pada acara Sosialisasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Bahaya dan Modus Operasi dari Kejahatan itu, para peserta diberikan pemahaman tentang TPPO, bentuk modus operandi, cara penanganan dan pelaporan kepada polisi, serta aspek hukumnya.
Ketua Umum MUI Banten KH A Bazari Syam yang didampingi Sekretaris Umum Endang Saeful Anwar saat membuka acara mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian MUI Banten terhadap persoalan umat khususnya di dalam kaitan dengan kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO.
“Karena memang persoalan tertentu ini jadi menggurita, hampir di setiap lini masyarakat maka Majelis Ulama Indonesia tentu berharap dengan sosialisasi ini para ulama dan tokoh agama bisa menyampaikan persoalan-persoalan ini ke tengah-tengah masyarakat,” ungkapnya.
Melalui sosialisasi ini, lanjutnya, MUI Banten ingin ke depan tidak ada lagi persoalan perdagangan orang atau tindak pidana perdagangan orang. Paling tidak informasi mengenai tindak pidana perdagangan orang tersampaikan dengan utuh kepada masyarakat. “Ulama kewajiban bagaimana memberikan pendidikan kepada masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa bernegara,” ungkapnya.
MUI Banten, lanjutnya, melihat bahwa ada persoalan ekonomi yang melatarbelakangi orang sehingga tergiur dan terjerat perdagangan.
“Intinya kami ingin ada ketertiban dan ketenangan di tengah-tengah masyarakat. Maka ulama bisa keraskan ngomongnya dalam persoalan ini supaya tidak terjadi lagi di tengah-tengah masyarakat, apalagi di desa yang sangat mudah dikibuli,” kata Bazari.
Sosialisasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Bahaya dan Modus Operasi dari Kejahatan menghadirkan narasumber praktisi hukum dari Untirta Aan Asphianto dan Kepala Bagian Pengajaran dan Pelatihan Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Banten AKBP Iin Fauzi.
Aan Asphianto mengungkapkan, pelaku TPPO biasanya merekrut korban, misalnya dengan iming-iming pekerjaan yang menjanjikan. Di tempat penampungan, korban yang seringkali diperlakukan tidak manusiawi. Bahkan pelaku mengeksploitasi korban dan melakukan kekerasan fisik dan psikologis.
Untuk menghindari dari masalah itu, kata Aan, sangat perlu meningkatkan kesadaran masyarakat. Misalnya melalui sosialisasi, edukasi, dan kampanye. Bekali masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melindungi diri dari TPPO, memperkuat hubungan keluarga agar saling melindungi.
“Berhati-hati dengan tawaran menggiurkan: Jangan mudah tergiur dengan tawaran pekerjaan yang tidak masuk akal,” unkap Aan.
Selain itu, lanjut dia, kerja sama lintas sektor terus diperkuat, baik unsur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, mapun dengan masyarakat. “Harus berani melaporkan jika mengetahui adanya kasus TPPO,” kata Aan.
Pada kesempatan itu, AKBP Iin Fauzi memaparakan beberapa hal yang menjadi penyebab TPPO. Antara lain masalah ekonomi, Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran membuat banyak individu rentan terhadap penawaran pekerjaan palsu.
“Banyak korban tergoda untuk mencari peluang kerja di luar negeri yang ternyata merupakan jebakan,” ungkap Iin saat menyampaikan materinya.
Kemudian faktor pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya pemahaman tentang risiko dan bahaya yang terkait dengan TPPO. Korban sering kali tidak menyadari bahwa mereka dapat menjadi sasaran perdagangan orang.
“TPPO sering kali melibatkan jaringan kriminal internasional yang terorganisir, yang memfasilitasi pergerakan korban melintasi batas negara dengan tujuan eksploitasi,” ungkap Iin.
Ia melanjutkan, masalah ini diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sanksi pidananya, pelaku TPPO dipidana penjara paling sedikit 3 tahun dan paling banyak 15 tahun, serta denda hingga Rp 600 juta. Apabila pelaku melakukan TPPO terhadap anak, sanksi yang dikenakan lebih berat, yaitu pidana penjara paling sedikit 5 tahun dan paling banyak 20 tahun, serta denda hingga Rp 1,5 miliar.
Editor: Aas Arbi