SERANG – Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten M Yanuar menyarankan kepada para dokter umum tidak risau dengan program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP).
“Itu kan baru rencana. Di kita saja belum apa-apa, sudah gaduh. Jadi tenang saja dulu,” kata Yanuar, Rabu (24/2/2016), di pendopo Gubernur Banten.
Yanuar menambahkan, Pemprov belum menerima konsep tertulis dari pemerintah pusat soal program DLP. Makanya Pemprov belum bisa menyikapi tuntutan dokter umum yang disampaikan saat audiensi dengan Komisi V DPRD Banten, Senin (22/2) lalu. “Saya belum bisa bersikap apa-apa. Konsepnya saja belum lihat. Nanti kita lihat dulu, baca dulu konsepnya seperti apa, baru kita bisa bersikap,” kata Yanuar.
Hingga saat ini, lanjut dia, belum ada dokter yang datang ke Dinkes Provinsi Banten untuk menyampaikan keluhan program DLP.
Senin (22/2), sejumlah dokter umum yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Cabang Banten mendatangi Komisi V DPRD Banten. Kedatangan para dokter umum tersebut untuk menolak program Dokter Layanan Primer (DLP) yang dibuat Kementerian Kesehatan RI melalui Undang-Undang No 2 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
“Sebagian besar dokter di Indonesia jadi resah termasuk mahasiswa kedokteran dan para orang tua yang menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran. Sebab dengan program tersebut, dokter umum yang telah menempuh pendidikan kedokteran dasar selama lima tahun dan internship satu tahun, masih harus menempuh pendidikan spesialis DLP selama dua sampai tiga tahun. Sehingga total masa pendidikan yang harus ditempuh dokter umum adalah selama delapan sampai sembilan tahun,” papar Ketua Umum PDUI Banten Dr H Raden Furqon dalam audiensi, Senin (22/2/2016).
Menurut Furqon, ini dinilai sangat menzalimi para dokter dan calon dokter, juga memberatkan orang tua yang membiayai pendidikannya karena akan memakan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal.
Masih menurut keterangan Furqon, adanya program DLP karena tingginya angka rujukan pasien dari fasilitas layanan primer ke rumah sakit karena kurangnya kompetennya dokter yang selama ini melayani masyarakat. “Sedangkan dari analisa kami, tingginya rujukan bukan karena tidak kompetennya dokter, tapi kurangnya sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan pertama seperti di puskesmas,” kata Furqon. (Bayu)