Menjaga lisan dari ucapan yang menyakitkan, amatlah sangat penting dilaksanakan. Terlebih terhadap suami yang harus dijaga harkat dan martabatnya. Sebuah kisah pasutri Cipung (53) dan Siti (53), keduanya nama samaran, di salah satu kampung di Kabupaten Serang, memberi pelajaran bagi kita sebagai makhluk yang penuh kekurangan untuk tidak berkata sembarangan. Peristiwa itu terjadi puluhan tahun silam, saat Siti dan Cipung berusia 28 tahun.
Cerita dimulai ketika Siti, sang wanita cantik kembang desa membuat Cipung tak bisa tinggal diam saat wanita pujaan hati digoda lelaki lain. Dengan modal mumpuni ditambah janji manis pernikahan, ia sukses mempersunting Siti. Ciyee.
“Wah, pokoknya dia benar-benar tipe saya banget. Bahkan waktu itu saya sempat punya prinsip, saya enggak mau menikah kalau enggak sama dia,” ungkap Cipung kepada Radar Banten.
Cipung mengaku, mungkin karena merasa cantik dibanding teman-teman seusia, Siti memang terkenal dengan sikap sombong dan gaya bicaranya yang ketus. Terlahir dari keluarga miskin, tak membuat Siti sadar diri. Pergaulan remaja yang tergerus budaya modern, menciptakan banyak perubahan pada sikapnya.
Berpenampilan layaknya orang kaya, Siti tak mau mengerti keadaan ekonomi keluarga. Padahal waktu itu kedua orangtua hanya bekerja sebagai buruh tani, banting tulang mencari uang untuk Siti anak semata wayang yang paling disayang.
Memiliki paras nan ayu bawaan sang ibu. Dengan kulit putih dan penampilan menarik, membuat lelaki tak bisa menahan hasrat untuk tidak mencintainya. Apalagi dengan sikapnya yang jutek itu, wah, pokoknya bikin penasaran. Katanya, mungkin karena lelah menolak banyak cinta, saat Cipung datang dengan segala kelebihan, Siti langsung menerima.
Wajar saja, Cipung termasuk lelaki matang. Memiliki pekerjaan tetap dan hidup sederhana, ia juga termasuk lelaki impian wanita. Dianugerahi wajah tampan dan kulit sawo matang, Cipung lelaki yang berkarakter. Tak hanya itu, didikan sang ayah agar selalu bekerja keras, membuat kehidupan di dunia kerja sangat membantunya.
Singkat cerita, Cipung dan Siti pun menikah. dengan pesta digelar meriah, lantunan lagu dangdut menyemarakkan hari bahagia, keduanya tampak gembira menerima kedatangan tamu undangan. Bagai raja dan ratu, Cipung dan Siti duduk mesra di pelaminan.
Di awal pernikahan, Cipung dan Siti hidup bahagia. Menempati rumah pribadi dengan ekonomi mumpuni, mereka membuat orang-orang kampung iri. Bagai pengeran dan permaisyuri, Cipung dan istri hidup sejahtera. Hingga berjalan setahun kemudian, lahirlah anak pertama.
Hingga berjalan dua tahun usia pernikahan, apa yang terasa indah di awal, semakin lama semakin memudar. Entah karena faktor bertambahnya usia atau karena kebosanan, hubungan dengan sang istri tak semesra dahulu. Tak ada lagi curhat-curhatan, keseharian keduanya berlangsung biasa. Aih, kok begitu sih, Kang?
“Enggak tahu, saya juga bingung. Waktu itu rasa sayangnya pindah ke anak. Sama istri mah jadi biasa saja,” ungkap Cipung.
Meski begitu, lantaran mempertimbangkan nama baik keluarga besar dan saudara, Cipung masih menjaga rumah tangga dengan sang istri. Bagaimana pun juga, Cipung mengaku, setelah banyak lika-liku kehidupan yang dilalui bersama, ia tak mungkin berpaling meninggalkan sang istri dan anaknya.
Namun, yang namanya manusia pasti pernah khilaf dan meninggalkan prinsip yang pernah diungkapkan. Hal itu pun terjadi pada Cipung. Bertengkar hanya karena masalah sepele, ditambah ia dan sang istri yang tak mau saling mengerti kemauan masing-masing, menciptakan keributan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Aih, kenapa lagi sih, Kang?
“Kita kayak sudah enggak cocok lagi. Dia marah-marah, ya saya juga ikut emosi. Masa saya pulang malem karena ada urusan kerjaan, masih dimarahin juga,” tukas Cipung.
Lantaran stres memikirkan masa depan rumah tangga yang berada di ujung tombak, bagai layang-layang putus,Cipung pergi dari rumah dengan tujuan tak jelas. Menemui beberapa teman, ia mendapat berbagai macam nasihat. Ada yang menyarankan kembali pulang, ada juga yang menyuruh menceraikan. Oalah.
Di tengah kebimbangan, musibah datang dari keluarga besar Cipung. Sang adik yang masih berstatus pelajar, ketahuan berbuat mesum dengan kekasihnya yang merupakan teman sekolah. Meski Cipung mencoba menutup-nutupi, kabar buruk itu sampai ke telinga sang istri.
Sebagai anak tertua dari empat bersaudara, Cipung memutuskan pulang ke rumah orangtua karena sang ayah memang sudah tiada. Parahnya, bukannya menjaga nama baik suami dan keluarga, mungkin karena hubungan mereka juga sedang renggang, Siti malah menyebarkan keburukan suami kepada tetangga. Aih.
“Waktu itu saya benar-benar enggak terima, Kang. Bukan cuma soal keluarga saya, dia juga nyebarin hal-hal pribadi saya,” ungkapnya. Astaga.
Tiga hari Cipung pergi, pulanglah ia menemui Siti. Awalnya tak ada yang aneh dengan keduanya. Masih melayani Cipung selayaknya pasangan suami istri, Siti bersikap seolah keberadaannya sangat dibutuhkan suami yang tertimpa masalah. Hingga suatu siang, apa yang dilakukan Siti selama tiga hari pun terbongkar.
Cipung yang hari itu sengaja tak bekerja, berniat membeli rokok ke warung tak jauh dari rumah. Tak lama setelah mengisap rokoknya, beberapa ibu-ibu di warung memandangnya sinis. Meski merasa tak nyaman, Cipung mencoba bersikap santai.
Saat ia berjalan menuju rumah, seorang lelaki tua yang sering ditemuinya di musala ketika salat berjamaah, menyapa hangat sambil mengimbangi laju langkah. Saat itulah Cipung dinasihati untuk mengontrol sang istri agar tidak membuka aib suami.
Tanpa banyak bertanya, saat itu juga Cipung mengerti apa yang sedang terjadi. Sesampainya di rumah, seolah tak bisa menahan amarah, ditanyalah Siti dengan nada tinggi. Bukannya menjawab, Siti malah balik terpancing emosi, keributan pun tak dapat dihindari.
Saat itu juga, keluarlah kata cerai yang jadi akhir dari cerita rumah tangga mereka. Tapi, setahun sama-sama hidup sendiri dan tak kunjung menemukan pasangan baru, mungkin karena masih cinta, akhirnya mereka pun rujuk kembali. Cipung dan Siti melanjutkan perjalanan bahtera rumah tangga.
Ya ampun, semoga Teh Siti bisa diambil pelajaran dari peristiwa itu ya Kang. Langgeng dan mesra selalu. Amin. (daru-zetizen/zee/ags)