“Iya, setelah digusur tidak ada aktivitas lagi di sana. Tapi, lahan pertanian warga sudah enggak bisa ditanami lagi, karena sudah ditutup tanah merah,” ungkapnya.
Dia menambahkan, masyarakat yang terpaksa menjual tanah kepada pengusaha hanya 18 orang dari 70 orang petani yang lahannya tergusur. “Baru sedikit yang menjual dengan harga murah,” ujar Aswari.
Terpisah, Sekretaris Desa Margatirta, Rahmat mengatakan, sebelum penggusuran lahan pertanian masyarakat, pemerintah desa mengklaim telah melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Namun, tidak semua pemilik lahan dikumpulkan. Hanya pemilik lahan pertanian darat saja yang kumpul dan harga tanah telah disosialisasikan, yaitu Rp 20.000 per meter.
Ditanya apakah tanah yang digusur telah dibeli semuanya atau belum, Rahmat menjelaskan, pada saat digusur lahan tersebut belum dibeli dan masih menjadi hak masyarakat. Tapi, tanah itu sudah diukur terlebih dahulu dan yang memerintahkan pengukuran, yaitu Pak Hamdan (Kepala Bidang Bina Marga pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang) Kabupaten Lebak.
“Saat itu, yang memerintahkan pengukuran lahan Pak Hamdan. Setelah diukur, lahan langsung diratakan dengan alat berat,” jelasnya.
Terkait luas lahan tanah yang digusur, Rahmat mengatakan, lahan yang digusur memiliki panjang dua kilometer lebih dan lebar 20 meter. Lahan tersebut untuk akses jalan menuju pintu tol. Ditanya apakah selama ini tidak ada akses jalan ke pintu tol di Cikulur, dia mengakui, ada akses jalan yang selama ini digunakan masyarakat.
“Kalau masalah itu, kenapa dibuat jalan lagi, saya enggak tahu. Karena jalan menuju pintu tol sudah ada dan biasa dilalui masyarakat,” jelasnya.
Penulis: Mastur
Editor: M Widodo