KLATEN, RADARBANTEN.CO.ID — Siapa orangnya yang tidak suka melihat kondisi kampung/lingkungan yang tertata rapi, indah dan bersih? Pasti semua orang mendambakannya.
Gambaran itulah yang dapat kita lihat di RW 07, Dukuh/Kampung Plumpung, Desa Bogor, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Jateng).
Padahal, kampung ini tidak sedang mengikuti Lomba Kampung Bersih dan Aman (LKBA) seperti di Kabupaten Serang atau Lomba Kampung Resik lan Aman (LKRA) yang dilaksanakan setiap tahun di Kota Serang, Banten.
Tapi, siapa sangka, jika Dukuh Plumpung yang terdiri dari 3 RT ini, dahulunya merupakan kampung kumuh dan jalannya berlumpur.
Kampung ini terletak di lintas Jalan Raya Karangdowo – Tawangsari atau Jalan Raya Wonogiri – Klaten.

Tak sulit menemukan kampung ini. Sebuah gapura di pinggir jalan raya, terpampang jelas nama kampung tersebut. Dari gapura inilah, mata kita mulai dimanjakan dengan tanaman bunga berbagai jenis di kanan/kiri jalan berjejer rapi.
Makin masuk ke kampung, bunga di pinggir jalan memang agak berkurang. Tapi, di halaman rumah beberapa warga dapat ditemukan berbagai jenis bunga.
Di dalam kampung juga terdapat sebuah monumen/tembok permanen bertuliskan alamat kampung secara lengkap. Di samping kanan kiri monumen ditanami bunga berbagai jenis.
Dari lokasi monumen inilah kita bisa menikmati pemandangan alam nan indah. Di sisi selatan terdapat saluran irigasi untuk kebutuhan persawahan, yang airnya bersih mengalir sepanjang tahun. Mata airnya berasal dari Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri.

Kendati irigasi ini melintasi ratusan kampung/permukiman penduduk di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo, Jateng, namun tak terlihat adanya sampah. Warga tampaknya sudah sadar, bahwa irigasi tersebut merupakan sumber mata air untuk pengairan persawahan yang tidak boleh tercemar.
Pemandangan akan makin indah saat padi menguning. Bila kita berdiri di jembatan yang membentang di atas saluran irigasi, sejauh mata memandang akan terlihat hamparan padi menguning yang siap panen. Tak bosan mata memandangnya. Indah sekali.
Masih di sisi selatan, deretan Pegunungan Seribu jauh di ujung selatan Pulau Jawa, tampak jelas dan kokoh. “Kalo malam hari, terlihat lampu kerlap-kerlip di atas gunung itu. Keren banget,” kata Supadi, warga setempat yang kini menetap di Bandung.
Penulis sendiri lahir dan besar di kampung ini. Kemudian merantau saat kondisi kampung belum serapi sekarang. Tapi, warganya sudah sadar akan kebersihan.
Pada tahun 1983, Desa Bogor mengadakan Lomba Kampung Indah, Pesertanya adalah 9 Dukuh/Kampung se desa itu. Dan, Dukuh Plumpung juga ikut serta.
Kebetulan penulis ditunjuk sebagai salah satu juri dari 4 juri. Dan penulis adalah juri termuda. Ketika itu masih duduk di bangku SMA. Sementara tiga juri lainnya adalah seorang kepala sekolah, seorang PNS di Kantor Departemen Penerangan dan satu lagi seorang guru agama Kristen, yang usianya ketika itu sudah di atas 50 tahun semua.
KEBIASAAN WARGA
Siapa saja akan dibuat terkesan dengan kebersihan kampung ini. Di sepanjang jalan kampung, kita sulit menemukan sampah plastik atau kertas.
“Kebiasaan warga di sini, setiap abis subuh langsung menyapu halaman dan jalan depan rumahnya,” kata Ibu Suratmi (59), warga setempat.

Sampah-sampah tersebut kemudian dikumpulkan di belakang atau samping rumah. Dan, setelah kering dibakar.
Hal itu dilakukan karena hingga sekarang belum ada koordinasi penanganan atau pengolahan sampah rumah tangga dengan pihak kecamatan atau kabupaten.
Kini, setiap rumah tangga mendapat bantuan bis atau gorong-gorong berdiameter 1 meter. Gorong-gorong tersebut berfungsi untuk menampung sampah agar tidak berserakan. Dan, setelah kering, sampah tersebut langsung dibakar di dalam bis.
SEKILAS TENTANG DUKUH PLUMPUNG
Tak ada yang tahu persis, kapan Dukuh Plumpung berdiri. Tapi, kakek dan nenek penulis merupakan warga setempat dan melahirkan ke tujuh anaknya di kampung ini.
Tahun 1970 an, Dukuh Plumpung, Desa Bogor ini kelihatan atau kesannya tampak kumuh. Mungkin terkumuh di Kabupaten Klaten. Jarak kampung ini dari Kota Kecamatan Cawas 7 kilometer, dan dari Ibu Kota Kabupaten Klaten sekitar 23 kilometer .
Jalan kampung masih berupa jalan tanah. Sehingga jika musim penghujan, berubah menjadi berlumpur.
Apalagi tahun itu, nyaris setiap rumah di Dukuh Plumpung memiliki kerbau, yang setiap pagi sore digembalakan melewati jalan kampung. Maka, jalan tanah yang setiap saat diinjak kerbau makin berlumpur dan sulit dilewati.
Baru di kisaran tahun 1980 an, jalan kampung ini mendapat bantuan pengerasan berupa batu dari pemerintah. Maka, jalan yang semula berlumpur, sejak tahun 1980 menjadi keras dan tidak lagi becek.
Seiring dengan perjalanan waktu, warga setempat mulai berpikir bagaimana merubah Dukuh Plumpung agar tak terkesan kumuh. Maka, warga berembug mencari penyebab kekumuhan dan mencari solusi agar kampung menjadi bersih dan rapi.
Penyebabnya ditemukan. Yakni banyaknya bambu duri yang tumbuh di sekeliling kampung.
Maka diputuskan: bambu duri yang merupakan bahan utama bangunan rumah warga setempat harus ditebang semua! Diganti tanaman buah-buahan: mangga, jambu mete dan tangkil/melinjo serta tanaman pangan lainnya.
Kampung pun menjadi tampak lebih fresh dan tidak lagi terlihat kumuh. Dengan tampilan baru tersebut warga belum puas. Warga ingin di pinggir atau sekeliling kampung ada jalan lingkar. Sehingga mobilitas warga menjadi makin lancar dan kampung tampak indah.
Maka, berkat kegigihan warga dan semangat kebersamaan, keinginan tersebut terwujud. Sekarang kita bisa mengelilingi Dukuh Plumpung ini melewati jalan utama di tengah kampung atau bisa melewati pinggiran kampung. Sambil menikmati areal persawahan.
Pada sekitar tahun 1994 an, warga kembali bermusyawarah. Pagar rumah warga yang selama ini terbuat dari bambu dan tidak seragam, dibongkar total.
Sebagai penggantinya, setiap rumah tangga diminta membuat pagar tembok permanen yang desainnya sudah ditentukan. Maka, jadilah pagar seluruh RW 07 Dukuh Plumpung seragam rapi.
Tapi dalam perjalanannya, ada beberapa pagar yang roboh. Kemudian oleh pemiliknya dibangun pagar lebih tinggi.
Tak hanya sampai di sini. Jalan kampung yang semula sudah diperkeras, kini dibeton kokoh. Tak ada lagi kesan bahwa jalan kampung ini pada kisaran tahun 1970 berlumpur dan tak bisa dilewati kendaraan. Kala itu, saat musim hujan, sepeda ontel pun tak bisa lewat. Sehingga untuk menuju jalan kabupaten yang jaraknya 200 meter harus dipanggul.
Kini semua cerita tentang kekumuhan dan keterbelakangan Dukuh Plumpung tinggal kenangan.
Penulis/Editor: M Widodo