SERANG,RADARBANTEN.CO.ID- Puluhan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan santri di Kabupaten Serang diajak untuk melestarikan Aksara Pegon yang merupakan khazanah keilmuan di Banten.
Ajakan tersebut disampaikan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII dalam kegiatan Pelestarian Aksara Pegon di Provinsi Banten di Pondok Pesantren Moderat at-Thohiriyah Pelamunan, Kabupaten Serang.
Kegiatan selama tiga hari pada 6 hingga 8 September 2024 dihadiri oleh sebanyak 40 peserta pelajar SMA, MAN dan santri. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperingati Hari Aksara Internasional.
Diketahui, Aksara Pegon adalah sistem penulisan menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali dan mungkin bahasa daerah lain di Indonesia.
Kepala BPK Wilayah VIII Lita Rahmiati mengatakan, kegiatan ini menghadirkan banyak pembelajaran terutama tinggalan budaya masa lampau. “Kegiatan ini menghadirkan banyak pembelajaran tinggalan masa lampau yang sarat akan makna,” katanya, Minggu 8 September 2024.
Ia berharap, akan semakin banyak orang yang bisa membaca manuskrip atau aksara Pegon sehingga isinya bisa diimplementasikan, disebarluaskan dan diinformasikan pada masyarakat luas. “Semoga Aksara Pegon yang menjadi geliat khazanah keilmuan Islam di Banten dapat terus lestari,” paparnya.
Salah seorang pemateri yang juga merupakan Akademisi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Dr Ade Fakih Kurniawan mengatakan, sebagai kesultanan Islam, tradisi menulis Aksara Pegon di Banten sudah dikenal sejak zaman dulu. Maka tidak heran jika Banten menjadi salah satu pusat kegiatan keilmuan Islam di Nusantara pada abad ke-18 yang berpusat di Kasunyatan.
“Ada beberapa sultan dan ulama besar yang berpengaruh dalam keilmuan di Kesultanan Banten diantaranya Maulana Muhammad, Kiai Dukuh (Pangeran Kasunyatan), Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf al-Makassari, Sultan Abu Nashr Zayn al-‘Asyiqin, Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani dan lainnya,” katanya.
Ia menjelaskan perbedaan antara Aksara Pegon dan Aksara Jawi. Aksara Jawi digunakan untuk memuliakan bahasa Melayu. Jejak proses Islamisasi di tanah Melayu menghasilkan tinggalan budaya berupa aksara Jawi, sedangkan Islamisasi di Jawa menghasilkan aksara Pegon yang berakar dari aksara Jawi.
“Aksara Jawi paling awal menunjukkan angka tahun 1303 M sesuai dengan prasasti Trengganu, sementara Aksara Pegon kemungkinan besar awal diketahui pada abad ke-15 berdasar prasasti Malik Ibrahim di Gresik berangka tahun 1419 M. Banyak sumber mengatakan orang pertama yang mengenalkan aksara Pegon adalah Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati,” ungkapnya.
Menurutnya, eksistensi Aksara Pegon menjadi bukti transformasi besar-besaran masyarakat Jawa dari keberhasilan proses Islamisasi. Adanya interaksi antara Ulama Timur Tengah dan Ulama Nusantara juga turut berpengaruh dalam penyebaran budaya Aksara Pegon sehingga menghasilkan akulturasi budaya khususnya literasi.
Keraton, Kesultanan dan pesantren berperan besar dalam transformasi dan transmisi budaya literasi dalam Aksara Pegon. Selain sebagai identitas intelektual muslim Jawa, Aksara Pegon juga menjadi simbol perlawanan ulama terhadap Kolonial Belanda.
“Saat ini, penggunaan Aksara Pegon semakin berkurang kecuali pada santri pesantren salafiah saja, itupun sudah tidak terlalu banyak lagi,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, Aksara Pegon di Kesultanan Banten memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai transmisi keilmuan Islam, sarana penulisan surat menyurat Kesultanan Banten, penulisan undang-undang Kesultanan Banten, penulisan dalam mata uang, penulisan rajah, jimat, mujarobat dan lainnya.
“Dahulu Aksara Pegon digunakan tidak saja oleh masyarakat akademik di pesantren-pesantren, namun juga oleh masyarakat luas untuk segala kepentingan seperti surat-menyurat, atau menulis pada media apa saja,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengajak generasi muda untuk membangkitkan kembali pengetahuan dan kemampuan membaca dan menulis Aksara Pegon, tidak saja diperuntukkan bagi penulisan kitab di pesantren-pesantren, namun juga bagi masyarakat luas.
“Aksara Pegon saat ini bisa diaktualisasikan atau dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini sehingga dapat dimunculkan menjadi identitas budaya pada ruang-ruang publik, baik itu berupa papan informasi publik, atau bahkan karya seni berbasis Aksara Pegon,” pungkasnya.
Editor : Aas Arbi