Oleh : DR. KH. Encep Safrudin Muhyi, MM, M.Sc, Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi
“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al Baqarah : 198).
Manifestasi Penghambaan
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima Di antara pilar dalam Islam yang diwajibkan kepada umat Islam yang dilakukan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw Beberapa abad sebelum kota Makkah sebagai pusat Islam dengan ditandai lahirnya Baginda Nabi, para nabi sebelumnya sudah melaksanakan haji di kota tersebut. Hikmah disyariatkannya semua ibadah tidak lepas dari dua hal, pertama, sebagai pengakuan bahwa dirinya sebagai hamba dan kedua, sebagai ungkapan syukur pada Allah Swt.
Ibadah haji mengandung dua hikmah ini sekaligus. Pertama, ibadah haji adalah manifestasi penghambaan, serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya. Kedua, ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Dan, ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridhai oleh Allah Swt.
Adapun Hikmah disyariatkannya ibadah haji sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibadah yang lain, seperti shalat jamaah, shalat Jumat, dan dua shalat hari raya, yaitu tampaknya persatuan umat Islam. Islam menginginkan adanya sebuah ibadah yang bisa menghilangkan sekat kaya, miskin, tampan, jelek, kulit putih, kulit hitam, atau lainnya. Di sisi Allah Swt, semuanya sama. Oleh karenanya, tentu adanya ibadah-ibadah yang telah disebutkan tidak lantas mempersatukan umat Islam secara mayoritas. Ibadah itu hanya bisa mempersatukan umat Islam di tempat mereka masing-masing. Tentu tidak dengan ibadah haji. Ibadah yang satu ini mampu menampung semua umat Islam yang telah memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk bersatu dalam satu baris dan satu tempat.
Bahwa disyariatkannya ibadah haji tidak hanya sebatas tentang ibadah biasa, lebih dari itu, adanya ibadah haji justru sebagai bukti akan persatuan dan kejayaan Islam, serta sebagai bukti kekompakan pemeluknya. Juga sebagai ajang tukar pendapat satu suku dengan suku lainnya, satu
negara dengan negara lainnya. Tidak hanya itu, ketika sudah ada di Baitullah, tidak ada perbedaan antar umat Islam, semuanya sama-sama sebagai hamba Allah dengan tujuan yang sama pula. Mereka tidak dibedakan dengan berbagai identitas yang mereka miliki.
Ibadah haji sebagai penghambaan adalah manifestasi rasa takwa dan ketundukan total kepada Allah Swt melalui berbagai ritual dan tindakan yang disyariatkan. Ibadah haji mengajarkan manusia untuk menyadari kedudukan dirinya sebagai hamba yang lemah dan bergantung pada Allah.
Ibadah haji sebagai : pertama, Manifestasi Penghambaan. Ibadah haji, mulai dari ihram, wukuf di Arafah, tawaf, dan sai, adalah tindakan yang menunjukkan ketundukan dan penghambaan kepada Allah. Kedua, Sadar akan Kehinaan, Melalui haji, seseorang belajar untuk menyadari kelemahan dan ketergantungannya pada Allah, seperti yang terlihat saat ihram ketika seseorang menanggalkan pakaian biasa dan memakai ihram. Ketiga, Puncak Ibadah, Haji dianggap sebagai puncak ibadah karena melibatkan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya demi memenuhi panggilan Allah. Keempat, Menjaga Kemuliaan, Ibadah haji juga mengajarkan nilai-nilai kemuliaan, persatuan, dan persaudaraan sesama muslim. Kelima, Perjalanan Spiritual, haji bukan hanya ritual fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam menuju cinta dan penghambaan sejati kepada Allah.
Pelaksanaan iIlbadah haji merupakan puncak penghambaan seorang muslim kepada Allah Swt. Karena dalam pelaksanaannya ibadah haji dilaksanakan dengan dengan segala upaya yang tidak mudah dalam menjalankannya. Mulai dari segi biaya, waktu, tenaga dan fikiran. Hanya dengan rasa ikhlas dan pengharapan ridho Allah SWT semata, yang rela meninggalkan urusan dunia, menuju kepada keharibaanNya serta memenuhi panggilanNya ke Baitullah, seraya mengucapkan “Labbaikallahumma labbaik”.
Murur dan Tanazul
Allah Swt akan memberikan balasan yang besar kepada orang yang bersungguh sungguh untuk memenuhi panggilanNya. Orang yang berhaji akan mendapatkan ampunan dosa, dijanjikan syurga, dibersihkan jiwanya dari karat-karat perbuatan maksiat , menjadi lebih bersih dan lebih suci, dikuatkan iman.
Pengertian murur merupakan pergerakan jamaah haji dari Arafah melintas di Muzdalifah, lalu menuju Mina saat puncak haji. Jamaah diberangkatkan dari Arafah setelah Shalat Maghrib menuju Muzdalifah, tanpa turun, dan langsung menuju Mina.
Adapun tanazul dalam konteks ibadah haji, adalah skema yang memungkinkan jemaah untuk tidak menginap di tenda Mina, melainkan kembali ke hotel dekat area jamarat atau tempat lontar jumrah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan di tenda Mina.
Pernyataan menteri Agama (Menag) Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. MA, bahwa skema murur dan tanazul secara resmi akan diterapkan dalam rangkaian ibadah haji tahun ini. Tahun ini diperkenalkan apa yang disebut dengan murur dan tanazul. Pernyataan pa menteri bahwa murur adalah pergerakan jamaah haji dari Arafah melintas di Muzdalifah, lalu menuju Mina saat puncak haji. Jamaah diberangkatkan dari Arafah setelah shalat Maghrib menuju Muzdalifah, tanpa turun, dan langsung menuju Mina. Murur secara sistematis kali pertama diterapkan pada penyelenggaraan haji lalu. Terobosan itu berhasil mempercepat proses mobilisasi jamaah dari
Muzdalifah ke Mina. Pada tahun lalu skema Murur diterapkan utamanya bagi jamaah lanjut usia dan disabilitas.
Adapun alasan adanya tanazul dalam ibadah haji, diantaranya, pertama, Mengurangi kepadatan, Tanazul dirancang untuk mengurangi kepadatan jemaah di tenda Mina, terutama di area jamarat. Kedua, Kembali ke hotel, Jemaah haji yang memilih tanazul tidak perlu menginap di tenda, tetapi kembali ke hotel untuk beristirahat. Ketiga, Pilihan bagi jemaah, Tanazul memberikan pilihan bagi jemaah yang ingin menghindari kepadatan di tenda dan memilih untuk menginap di hotel. Keempat, fokus pada jarak. Skema tanazul mempertimbangkan jarak antara tenda dan hotel, sehingga jemaah yang tinggal di hotel dekat area jamarat lebih mudah menuju tempat lontar jumrah daripada ke tenda. Adapun tujuan utamanya yaitu, untuk membuat ibadah haji lebih nyaman dan efisien bagi jemaah, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi khusus atau ingin menghindari kepadatan di tenda.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama, harus menginisiasi skema- skema preventif dan bisa mengurai kemungkinan kemungkinan persoalan yang akan terjadi. Skema inovatif sebagai langkah preventif itu, disebut Murur. Skema Murur dalam prosesi mobilisasi rombongan jemaah melintasi Muzdalifah menuju Mina dinilai sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya keterlambatan sekaligus menjadi upaya menjaga kesehatan jemaah dan mencegah risiko buruk lainnya (hifz al nafs), tanpa mengurangi keparipurnaan dari rukun haji. Murur merupakan salah satu dari lima skema puncak haji (empat skema lainnya adalah skema normal, safari wukuf non-mandiri, safari wukuf, dan badal haji), dimana jemaah haji yang selesai wukuf di Arafah akan diangkut menggunakan bus melintas secara pelan melewati Muzdalifah dengan berdiam di dalamnya, tidak turun.
Konsep murur tidak hanya mendorong percepatan dari mobilisasi jemaah haji Indonesia menuju Mina. Akan tetapi, murur menjadi ruang dialektis dari pendekatan hukum Islam terhadap kondisi-kondisi pelaksanaan ibadah haji. Murur menjadi jalan tengah mengurangi risiko-risiko yang memungkinkan terjadi sekaligus merekontekstualisasi hukum Islam untuk memudahkan jemaah haji dalam proses menjalankan ibadah (mempertahankan nilai yang lama yang masih baik dan menerima nilai baru yang lebih baik).
Selain murur, Kementerian agama juga memperkenalkan skema tanazul sebagai solusi lain untuk meningkatkan kenyamanan jemaah. Terobosan ini bertujuan mengurangi kepadatan jemaah haji saat mabit atau bermalam di tenda Mina. Konsep tanazul memungkinkan jemaah yang tinggal di hotel dekat area Jamarat atau lokasi lontar jumrah untuk kembali ke hotel setelah melempar Jumrah Aqabah. Dengan demikian, jemaah tidak perlu menempati tenda di Mina namun tetap menjalankan kewajiban bermalam sesuai ketentuan.
Dengan demikian, Pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) merupakan titik krusial dari seluruh rangkaian ibadah haji. Selain menjadi puncak prosesi ibadah haji, Armuzna bisa menjadi tolok ukur dari berhasil dan tidaknya penyelenggaraan haji. Semoga seluruh Jamaah haji mendapatkan gelar yang disebut haji mabrur. Wallahu’alam

Penulis Adalah Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi Cikedal Pandeglang / Penulis Buku Islam Dalam Transformasi Kehidupan & Buku Kepemimpinan Pendidikan Transformasional.